Terdengar suara ketukan pintu.
Pemuda yang tengah menata botol-botol suplemen di atas meja menolehkan kepalanya. Menatap sumber suara, pintu yang tengah tertutup tetal. Alisnya sedikit terangkat, menggambarkan rasa heran yang tengah berada di dalam akal.
"Apakah ada yang mengetuk pintu?"
Sebuah pertanyaan terlempar. Pemuda tadi mengangkat kepalanya, menatap lelaki yang melempar tanya. Ternyata, itu bukan khayalnya semata.
Kakinya melangkah panjang. Menuju pintu yang ditutupnya erat. Tangannya bergerak, membuka kenop pintu guna melihat siapa pelaku pengetuk pintu.
"Selamat sore, aku datang untuk menjenguk Jihoon."
Ekspresinya berubah. Boyak. Menjemukan.
"Oh. Ya. Tentu. Silahkan masuk."
Dia menjeda setiap kata yang keluar dari mulutnya. Membuka pintu lebih lebar dari sebelumnya, mengizinkan sang tamu untuk masuk ke dalam ruangan. Dengan seulas senyuman di wajah rupawannya, sang tamu meruyup ke dalam kamar.
Matanya menangkap buket bunga. Dia berdecih pelan, seraya membungkam pintu yang dibukanya semula. Berjalan ke tempatnya tadi, untuk duduk di sofa yang ditempati olehnya sejak kemarin-kemarin.
"Klasik betul sampai membawa bunga segala. Merah muda pula. Memang dipikirnya ini zaman Renaissance?! Dasar pujangga!" dia bergumam pelan, nyaris tidak terdengar. Beruntung, tidak ada reaksi yang diberikan oleh pemuda pembawa bunga itu.
"Jihoon, bagaimana kabarmu?" si pembawa bunga bertanya pada pemuda yang tengah terbaring di atas ranjang ruang rawat. Meletakkan sebuket bunga di atas nakas, setelah dia menyapa pasien yang dibesuknya.
"Kau tidak bisa lihat jika kabarnya masih buruk?"
Sebuah ironi dilontarnya. Dia duduk di sebuah sofa tunggal di samping jendela besar. Menatap sinis pemuda yang tengah berdiri di samping ranjang pasien.
Bahkan pemuda itu saja tidak mengajaknya berinteraksi, anak muda. Mengapa kau melempar ironi begitu saja?
Pemuda pembawa bunga tadi hanya melempar tatapan datar pada pemuda pelontar ironi. Sempat sedikit memutar bola matanya, sebelum dia kembali menatap pasien dengan tatapan teduhnya. Berusaha mengabaikan eksistensi pemuda yang terus-terusan menatapnya dengan pandangan tidak suka.
"Aku belum begitu baik, Minhyun sunbaenim. Seperti yang bisa sunbae lihat. Masih banyak yang sakit, tapi sudah lebih baik," sang pasien menjawab.
"Ah, maaf aku tidak bisa menatapmu. Aku tidak bisa menoleh," dia melanjut.
Pemuda pembawa bunga hanya mengulum senyum. "Tidak masalah, Jihoon. Jangan minta maaf, aku yang seharusnya minta maaf karena baru sempat membesukmu sekarang."
"Cih. Tidak usah datang pun tidak masalah."
Pemuda yang dipanggil dengan nama Minhyun itu kembali mendengar ironi di indra pendengarnya. Mengalihkan atensi sekilas pada pemuda lain yang tengah duduk memandang ke luar jendela, kembali memutar bola mata. Masih berusaha abai dengan ironi yang dilontarnya.
"Tidak apa, sunbaenim. Aku tahu sunbae pasti sibuk. Maaf karena membuatmu repot karena harus menjengukku," si pasien kembali bicara.
Dia yang mendengar ucapan lembut pasien yang dijaganya sejak kemarin hanya bisa berdecak. Lembut betul cakapnya. Jauh berbeda dibanding jika dia sedang bercakap dengan dirinya.
"Kau yang sakit kau yang minta maaf. Dia yang repot-repot kemari kau yang minta maaf. Jika sedang denganku saja, tidak pernah merasa bersalah."
Ocehnya cukup panjang, cukup besar untuk didengar Minhyun yang masih berdiri di pinggir ranjang. Minhyun kembali mengalihkan atensi padanya, Direktur yang dia ketahui bernama Lai Kuanlin itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
amore ; panwink✔
Fanfiction🌺𝙘𝙤𝙢𝙥𝙡𝙚𝙩𝙚𝙙🌺 ❝𝐚𝐥𝐥 𝐲𝐨𝐮 𝐧𝐞𝐞𝐝 𝐢𝐬 𝐥𝐨𝐯𝐞❞ ㅡ 𝘓𝘢𝘪 𝘒𝘶𝘢𝘯𝘭𝘪𝘯 ❝𝐭𝐡𝐞𝐧, 𝐰𝐨𝐮𝐥𝐝 𝐲𝐨𝐮 𝐭𝐞𝐚𝐜𝐡 𝐦𝐞 𝐰𝐡𝐚𝐭 𝐢𝐬 𝐥𝐨𝐯𝐞?❞ ㅡ 𝘗𝘢𝘳𝘬 𝘑𝘪𝘩𝘰𝘰𝘯 Lai Kuanlin, seorang Direktur Utama Perusahaan Perbankan terbesar di...