Bab 41 : Hiwaga

1.1K 201 46
                                    

"Mau pergi ke mana lagi sekarang?"

Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Jihoon yang kini tengah menemani kedua sahabatnya, Woojin dan Hyungseob untuk mencari buku. Keduanya sudah mengelilingi Hongdae sejak sore tadi. Hari sudah berganti menjadi malam, dan ketiganya belum kembali.

Hyungseob memasukkan sebuah buku ke dalam tas yang dibawanya. "Ke kafe saja, yuk? Tadi kau bilang ada yang ingin kau ceritakan, Hoon. Kebetulan sekali Ediya Coffee tengah mengadakan promosi."

Jihoon tampak berpikir sejenak, sebelum menganggukkan kepalanya. "Baiklah, ayo. Aku mengikuti kalian saja."

Mereka bertiga memasuki sebuah kafe yang berada tidak jauh dari sana. Woojin yang sejak tadi lebih banyak diam hanya mengikuti dua sobatnya. Menitip pesanannya pada Hyungseob, dirinya memilih untuk mencari tempat duduk.

Setelah memesan, ketiganya menunggu hingga pesanan mereka rampung dibuat. Jihoon memilih untuk duduk di depan Hyungseob dan Woojin yang kini duduk bersebelahan. Woojin masih tampak sibuk dengan ponselnya, mengurusi urusan organisasi katanya.

"Jadi... apa yang ingin kau ceritakan?" Hyungseob yang sudah rampung membenahi barang bawaannya membuka pembicaraan. Langsung ke poin utama yang hendak dia ketahui.

Jihoon yang tengah mengetuk meja dengan jemarinya mengangkat kepala kala mendengar ucapan Hyungseob. Dia melipat bibirnya seketika, sembari bergelut dengan pikirannya -haruskah dia menceritakannya pada Hyungseob dan Woojin atau tidak.

"Tapi berjanji padaku, kalian tidak akan memarahiku."

Hyungseob dan Woojin bertukar pandangan. Mengapa mereka harus marah pada Jihoon? Memang apa yang terjadi sampai-sampai Jihoon berpikir mereka akan memarahinya?

Woojin menyimpan ponselnya. Melipat kedua tangannya di atas meja, menatap Jihoon heran. "Memangnya, kami pernah marah padamu? Kami tidak pernah marah, meski kau memancing emosi."

Jihoon mendesis.

"Tuh, kan! Kubilang juga apa!"

Bukannya menjawab, Woojin hanya cengengesan. Hyungseob menghela nafas melihat tingkah sobatnya yang satu itu. "Sudahlah, abaikan saja perkataan Woojin. Kami tidak akan marah. Ada apa?"

Jihoon menghela nafas, meremas tangannya sendiri sebelum dia memulai bicaranya. "Kalian berdua benar, tentang perasaan Kuanlin."

Hyungseob dan Woojin membulatkan matanya bersamaan. Hyungseob menarik kursinya untuk lebih maju mendekati Jihoon. "Apa yang dia lakukan sampai kau tahu tentang perasaannya?"

Jihoon menopang dagunya dengan tangannya. "Dia yang bilang padaku.. aku tidak tahu harus bagaimana. Tapi aku bilang padanya -perkara kontrak itu. Kami terikat kontrak, kalian tahu sendiri. Tapi dia bilang, persetan dengan kontrak itu. Dia tidak peduli lagi."

Dia mengacak-acak rambutnya. "Aku tidak tahu harus apa. Aku tidak bisa membalas perasaannya, kalian tahu itu-"

"Bukan tidak bisa. Hanya saja kau belum bisa. Kau belum tahu cara untuk membalas perasaannya." Woojin menyela bicara Jihoon.

Jihoon menghela nafas, kemudian mengangguk. "Ya, sebutlah aku belum bisa membalas perasaannya. Tapi tetap saja, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Dia bilang, tak masalah jika aku tidak bisa membalas perasaannya, asalkan tidak melarangnya untuk menemuiku."

Hyungseob membuka mulutnya, memberi tanggapan. "Terus, apa masalahnya? Dia tidak mempermasalahkan itu, tidak ada yang harus kau ambil pusing."

Jihoon berdecak. "Bukan itu masalahnya! Aku tidak bisa melihat wajahnya, tahu! Malu! Aku akan kembali ingat bagaimana dia menciumku jika aku melihat wajahnya!"

amore ; panwink✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang