Bab 33 : Exonerate

1.2K 230 154
                                    

Suatu malam yang tentram di musim semi.

Sedikitnya, dua minggu sudah berlalu. Hari-hari berjalan sebagaimana biasanya. Kota Seoul ramai seperti biasanya. Diwarnai dengan deru kendaraan bermotor di jalanan kota. Malam itu masih dihiasi dengan kelopak bunga ceri yang diterbangkan oleh angin, membuat pemandangan makin apik dilihatnya.

Hari berjalan seperti biasanya. Suatu kafe kecil di daerah Sinsa pun ramai seperti biasanya. Meski mendekati jam tutup kafe, masih banyak pelanggan yang datang silih berganti dengan pelanggan lainnya. Kafe terasa hangat, karena interaksi yang terjadi di dalamnya.

Jarum jam terus bergerak, waktu semakin banyak yang berlalu. Detik demi detik sudah terlewati. Bangunan kecil yang didominasi warna cokelat muda kombinasi putih itu perlahan mulai sepi. Hingga akhirnya papan yang menggantung di pintu kaca dibalik, memberi tanda jika kafe sudah berakhir masa aktifnya hari ini.

Pegawai yang bekerja mulai bergerak membersihkan kafe bersama-sama. Bergotong royong, guna meringankan pekerjaan. Tidak perlu waktu lama untuk membersihkan kafe yang memang tidak begitu besar, semestinya tidak sampai satu jam hingga mereka rampung membersihkan kafe Pippy.

Rambut merahnya bergerak seiring pergerakan empunya. Berjalan menuju sebuah bilik kecil, sebuah ruangan pegawai. Dia mendapatkan kesempatan untuk berganti baju terlebih dahulu, karena sebuah permainan konyol yang dilakukan para pegawai.

Siapa yang berhasil membuat kopi paling banyak, dia yang bisa pulang lebih awal. Sebuah kompetisi semacam itu.

Dengan sedikit bersenandung dia berjalan menuju bilik kecil tadi, meninggalkan kawan-kawannya yang masih berkutat dengan pekerjaannya. Sedikit banyak mendapatkan tatapan iri karena dia bisa pulang lebih awal, tidak perlu ikut membersihkan kafe.

Tapi, orang sepertinya mana peduli. Dia ingin pulang lebih awal karena besok ada kegiatan yang harus dia ikuti. Pengambilan gambar untuk film di mana dia berperan sebagai pemeran pengganti.

Tidak perlu waktu lama untuk berganti pakaian bagi seorang Park Jihoon. Tidak sampai sepuluh menit, dia sudah melipat seragamnya kembali. Menyimpan seragam kafe di dalam loker yang tersedia. Melipatnya dengan rapi.

Dia menyisir rambutnya sedikit, sebelum memakai tudung hoodie miliknya. Sebuah perbuatan yang percuma, menurut salah satu rekannya. Namun, dia seakan refleks melakukannya. Setidaknya itu membuat perasaannya sedikit lebih lega.

Menyanding tasnya, memakai sepatunya, menarik resleting jaketnya. Semuanya sudah siap. Sekarang waktunya dia untuk melangkahkan kakinya menuju istana kecilnya. Rumah.

Menarik sudut bibirnya ke atas ketika dia menutup pintu. Sebuah senyuman sudah dia siapkan untuk dia lontar pada rekan-rekannya. Sebuah salam sebelum dia kembali ke rumahnya.

Namun semuanya sirna, ketika dia melihat sang atasan —alias sang pemilik kafe sedang berkutat dengan kegiatannya. Membuat kopi. Membuat kopi untuk pelanggan di jam operasional yang telah usai.

Dia bertanya-tanya. Ada apa gerangan? Siapa yang datang? Apakah ada inspeksi mendadak dari Departemen Pangan yang hendak memastikan kualitas sajian mereka? Kalau sudah begini, haruskah dia mengganti seragamnya kembali?

Manik matanya mengikuti gerakan sang atasan. Lelaki yang lebih dewasa darinya kini melangkah menuju salah satu meja, di mana terdapat seorang lelaki duduk menghadap tembok. Dia tidak bisa melihat wajahnya, hanya bisa melihat punggungnya yang dibalut jas berwarna abu arang.

Wah, betulan ada inspeksi mendadak sepertinya, pikir si rambut merah.

Matanya menangkap manik mata sang atasan begitu lelaki berhidung bangir itu kembali ke tempatnya. Melontar tatapan bertanya. Sedangkan yang lebih tua hanya mengarahkan pandangannya ke lelaki tadi, memberi isyarat padanya, isyarat yang tidak dia pahami apa maknanya.

amore ; panwink✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang