Bab 46 : Mon trésor

1.2K 211 138
                                    

Jarum jam bergerak maju. Waktu demi waktu telah terlewati tanpa terasa. Sekarang, jam dinding yang menempel di salah satu tembok bercat kuning gading menunjukkan pukul dua di malam hari.

Langit begitu gelita. Gelapnya bertaburkan bintang-bintang, yang membentuk beberapa konstelasi sebagai aksesori yang tampak jelita. Rembulan yang berbentuk setengah lingkaran turut mendukung pemandangan menjadi semakin juwita.

Kelopak matanya celangak. Menatap langit-langit kamar dengan lekap. Sedikitnya, sudah dua jam berlalu semenjak dia berusaha untuk memejamkan kelopak matanya, berusaha masuk ke dalam bunga tidurnya.

Upayanya bubar. Sebab, pikirannya terus berbentar. Cakapan pemuda yang tengah tertidur di ranjangnya tiga hari lalu membuat otaknya terus berputar.

Dia tidak kunjung menemukan jalan keluar yang sekiranya bisa diambilnya untuk menarik titik kata atas celoteh yang didengarnya. Sudah dua malam dia tidak bisa tertidur dengan cendera. Dia akan tidur cukup larut karena terus memikir tutur kalimat pemuda yang tengah lelap di atas ranjangnya.

Sebuah pembicaraan mengenai perasaan, mengenai cinta.

Bagi pemuda sepertinya yang tidak memahami arti dari rasa cinta tentu rumit untuk menghadapinya. Jika dia tidak salah ingat, ini adalah pertama kalinya dia mendapat pernyataan cinta. Sebelumnya, tidak ada yang pernah menyatakan cinta padanya.

Lumrah saja jika dia merasakan gamam. Dia tidak mengerti harus bersikap bagaimana.

Jemarinya bergerak-gerak, pelan. Otaknya terus bekerja untuk berpikir. Kembali menilik cakapan yang terlontar padanya. Kemudian memikirkan bagaimana perasaannya.

Dia -terus terang, tidak ingin pemuda itu pergi dari hidupnya. Dia tidak punya masalah dengannya, selain karena pemuda itu sangat menyebalkan untuknya, dia tidak punya masalah sama sekali. Dia juga tidak terganggu dengan kehadiran pemuda jangkung itu dalam harinya.

Benaknya tidak ingin mengkhayalkan bagaimana jadinya apabila pemuda itu lenyap dari harinya. Meski pemuda itu mengganggu, si jangkung itu membawa warna baru dalam hidupnya. Kendati kerap membuat amarahnya memuncak, namun si tinggi itu tidak jarang membuat senyuman terkulum di wajahnya.

Apakah -itu disebut dengan cinta?

Dia tidak paham mengenai permasalahan romansa. Baginya, itu terlampau rumit. Dia lebih memilih untuk menghafalkan naskah drama dibanding menerjemahkan perasaannya sendiri.

Atau, dia juga harus menghilang guna memastikan perasaannya sendiri?

"Aah! Tidak mau, ah!"

Dia menggerutu sendiri. Cukup keras, mampu mengusik pemuda yang tengah terpejam di ranjangnya. Pemuda jangkung yang kakinya melebihi panjang ranjang yang tersedia itu membuka kelopak matanya perlahan. Dia menoleh, masih dengan mata yang sedikit terpejam, menatap pasien yang tengah berbaring di atas ranjang.

"Ada apa-?" dia bertanya dengan suara serak, khas orang yang baru bangun tidur.

Yang ditanya lantas terdiam. Dia yang semula kelelap dalam benaknya, kini mengalihkan perhatiannya pada pemuda yang tengah duduk di ranjang miliknya. Tengah menatapnya dengan tatapan mengantuk.

"T-tidak- maaf aku membangunkanmu."

"Ada yang sakit? Aku dengar kamu menjerit barusan."

Setelah melempar tanya, pemuda itu beranjak dari ranjangnya. Bergerak ke depan menghampiri pasien yang masih berbaring, melempar lirikan waspada. "Ada yang sakit? Kenapa? Terbentur?"

Yang ditanya hanya menggeleng, pelan.

Oh, dia sudah mengalami kemajuan dalam kondisi kesehatannya. Sudah bisa menggerakkan kepalanya, meski perlahan. Dia sudah mampu menoleh dan menatap setiap orang yang datang membesuknya.

amore ; panwink✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang