Bab 58 : Jimjams

948 170 78
                                    

Drrt- drrrt-

Ponsel yang berada di dekat kepala itu bergetar. Membuat tangannya bergerak untuk menggapai-gapai benda panjang itu untuk menerima panggilan yang masuk di pagi hari, tepatnya jam tujuh pagi. Di mana kebanyakan orang-orang belum membuka matanya dari tidur lelap di malam hari mereka.

"Hh-halo?"

Suaranya sedikit serak. Dia baru membuka kelopak matanya. Belum sepenuhnya, baru separuh.

"Pagi, gembul. sudah bangun?"

"Mm- sudah. Baru saja bangun. Tapi aku masih sangat mengantuk."

"Bangunlah. Kau harus bekerja di kafe, bukan?"

"Aku harus datang ke kantormu untuk bersih-bersih."

Hening. Salah satu pihak menjeda bicaranya.

"Tidak bisakah kau mengundurkan diri dari sana, Ji? Kerjaannya terlalu bahaya bagimu. Kau kemarin baru saja membersihkan kaca gedung, bukan? Kalau kau jatuh lagi bagaimana?"

Sosok berambut merah yang kini terduduk di kasur lipatnya mendengung sesaat. "Jangan bicara begitu, dong. Doakan yang baik-baik untukku. Jangan bicara buruk begitu. Lagi, ini semua demi menikah denganmu."

Terdengar suara kekehan berat dari sambungan telepon. "Kenapa demi menikah denganku?"

"Aku ingin membeli rumah sebelum kita menikah."

"Ji, aku sudah punya rumah. Untuk itu, semuanya sudah siap. Kau tidak perlu bekerja keras untuk itu. Jadi -keluar dari sana, ya?"

"Kau bicara begini karena takut kepergok tengah bermesraan dengan wanita lain lagi, ya?!"

"Astaga -asumsi dari mana itu! Bukan begitu! Aku hanya cemas kau akan sakit lagi, sayangkuuuu. Aku tidak akan bermain di belakangmu, serius! Aku hanya cemas, karena kau baru saja pulih, lalu harus bekerja keras begitu. Aku tak mau kau sakit lagi."

"Kalau aku tak bekerja, dari mana uang untuk bayar kuliahku? Turun dari langit? Yang benar saja!"

"Ji, kucarikan pekerjaan yang lain, ya?"

"Tak mau! Aku tak mau bergantung padamu!"

"Hhh, Ji. Ya sudah, tapi hari ini kau tak perlu datang ke kantor."

"Kenapa?"

"Aku memecatmu. Aku minta pada Seungyeon untuk melayangkan surat pemecatanmu. Sekian."

"Ya! Lai Kuanlin! Aish! Kau ini memang suka sekenanya, ya?! Jangan pecat aku, bodoh!"

"Sst. Begitukah kau bertindak pada atasanmu, Park Jihoon?"

"Aaah jangan pakai kartu atasan! Kau menyebalkan! Jangan hubungi aku! Aku benci!"

Lagi-lagi, terdengar suara kekehan dari seberang sana.

"Iya, iya. Aku juga mencintaimu. Sudah dulu, ya. Aku sudah mau boarding. Aku hubungi lagi nanti jika aku sudah sampai di Shanghai. Jika kau ingin sesuatu, katakan padaku, aku akan membelikannya untukmu. Aku akan kembali hari ini juga untukmu."

"Hnggg!"

"Hahaha. Nanti kita bicarakan lagi, sayang. Sudah dulu ya, jangan marah."

"Aku marah!"

"Lucunya cintaku ketika sedang marah~"

"Berisik! Sana pergi!"

Lelaki yang menelpon itu hanya bisa tertawa gemas. Andai saja dia tengah berada bersama dengan sang kekasih, dia pasti sudah menghabisi pipi itu dengan cubitannya. Sayangnya, dia harus berada di ruang tunggu bandara untuk menunggu keberangkatan pesawatnya.

amore ; panwink✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang