Part +79

2K 279 31
                                    

"Irene, kau yakin tentang ini!" Jin mencegah wanita itu untuk masuk.

Irene menoleh dengan raut sedihnya. Ia hanya mengangguk lemah dengan pandangan kosong. "Jin, aku bisa apa? Tidak ada kesempatan lagi, kan?" Ia meletakkan kepalanya pada dada bidang Jin tanpa memeluk tubuh lelaki itu. Dirinya ingin menangis, namun ia tahan sampai tubuhnya ikut bergetar. "Kenapa dia datang di saat aku tak punya pilihan?"

Tangan Jin terangkat ingin memeluk tubuh bergetar itu, tetapi ia urungkan niatnya dan membiarkan kedua tangannya tetap berada di kedua sisi tubuhnya. "Aku sudah mengingatkanmu berulang kali sebelumnya, karena aku takut hal ini terjadi. Dan pada akhirnya terjadi juga. Jika kemarin-kemarin, mungkin aku masih bisa untuk membujuk orang tuaku. Tetapi, untuk sekarang sulit, karena besok pagi akad nikah kita. Kecuali kau nekat kabur malam ini juga."

Jin mendorong pelan tubuh Irene memberi jarak pada mereka. Ia menyelipkan surai wanita itu ke belakang kuping dengan lembut sembari menyusun kata-kata yang akan ia utarakan. "Irene, selama ini kau salah jika menganggapku menyukaimu. Bukan, maksudku aku memang menyukaimu, namun hanya sebatas mengagumi. Ya, aku memang sering kagum dengan kecantikanmu, kebaikan hatimu, ketegaranmu, bahkan kesabaranmu. Aku sungguh kagum pada wanita yang bisa sesempurna dirimu. Kekagumanku tidak berarti aku harus memilikimu. Tidak, bukan seperti itu yang aku inginkan. Jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam, sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah berniat untuk membantumu, karena kau tidak punya teman dan hanya seorang diri, semua itu tergambar jelas dari matamu yang kelam."

Kali ini dirinya lebih berani untuk menangkup pipi Irene dengan satu tangannya. "Selama ini aku menganggapmu sebagai saudara perempuan, bukan sebagai pasangan. Aku sebagai lelaki yang mampu, kenapa tidak membantumu saja? Itulah yang selalu kupikirkan padamu wanita yang tidak punya tempat untuk bersandar. Irene, semua yang kulakukan dengan sebuah batasan, bukan untuk dilampaui atau menghancurkan batasan. Begitu juga dengan perasaan. Kita teman, aku tidak berniat menjadikan kita lebih dari teman. Aku tidak meminta timbal balik apapun, apalagi sampai harus menikah denganku."

Dirinya menghela napas dan mengalihkan pandangannya pada malam tanpa bintang. "Semua ini sebenarnya ingin aku ungkapan pada malam kau menangis dibalik pintu. Karena hanya pada malam itu, kita punya kesempatan untuk berbagi perasaan yang sebenarnya. Sebelum aku pergi ke Amerika untuk pekerjaan, dan baru pulang tadi pagi. Kau memang tidak tau, karena kau sibuk dengan acara henna-mu."

Jin tertawa pelan yang entah apa sebabnya. "Cepat istirahat, kedua anakmu butuh kau tidur di samping mereka. Untuk hari esok, aku tetap akan duduk di depan penghulu dan menunggumu. Kau datang atau tidak, semua kuserahkan padamu. Jika tidak datang, maka aku akan mencari cara untuk menenangkan orang tuaku. Kau hiduplah seperti kata hatimu, walaupun itu salah, jika kau yakin itu yang terbaik untukmu, untuk cintamu, dan untuk anak-anakmu, maka lakukanlah tanpa memandang itu salah atau benar. Karena hanya Allah yang punya jawaban atas segala kesalahan dan kebenaran. Manusia hanya bisa melihat dari satu sisi, tetapi Allah bisa melihat dari segala sisi."

Irene hanya bisa diam sembari menghayati kata demi kata yang Jin ucapkan dengan lembut. Penuturan halus itu membuatnya terhanyut sadar jika Jin memanglah keberuntungannya.

Ia memilih untuk tetap diam sampai lelaki itu pamit setelah mengusap surainya lembut. Dirinya membiarkan matanya mengikuti punggung Jin yang menjauh. Semakin jauh semakin ia sadar pada kedua anaknya yang berada di dalam rumah. Buru-buru ia membuka pintu utama, dan masuk dengan tergesa-gesa.

Langkah kaki baru berhenti ketika menatap Val yang terduduk di sisi ranjang sambil menatap adiknya yang tertidur lelap. Anak itu menatap dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan oleh Irene. Ia mendekat perlahan, mendudukkan dirinya di depan Val dengan tenang. "Itu adikmu," tutur Irene lembut. "Adik yang ibu bawa pergi."

Val menatapnya sejenak, namun kembali lagi memandang adiknya dengan ekspresi yang sama. Tangan kecil yang masih berbekas luka memar itu bergetar ketika ingin menyentuh sang adik. Perlahan-lahan Val mulai menangis, terisak-isak hingga menutup mata dengan kedua tangannya sendiri. Anak itu terus memanggil 'ibu' berulang kali dengan pelan. Sampai-sampai Irene harus menarik Val ke dalam pelukannya.

"Aa-akhirnya a-aku bertemu ibu..." ucap Val dalam tangisnya. "I-ibu Val... bukan ibu yang lain. I-ibu yang baik, i-ibu yang sangat sayang Val. Ja-jangan tinggalkan Val lagi, Ibu...."

"Tidak... Ibu tidak akan meninggalkanmu lagi," ungkap Irene yang juga tanpa sadar ikut menangis.

"Ja-jangan tinggalkan ayah juga."

Saat itu juga Irene langsung terdiam. Apalagi Val juga melepas pelukan mereka. Anak itu mengusap matanya sejenak lalu mengeluarkan sesuatu dari saku celana.

"Ibu, Val membawa surat ini karena Val belum lancar membaca." Anak itu menunjukkan dua surat yang berbeda. Yang satu telah diremas, dan yang satu lagi terlipat dengan rapi. "Yang ini Val sudah tau isinya karena telah dibacakan oleh kakek." Val menunjuk surat yang terlipat. Lalu ia menyodorkan surat yang sudah diremas. "Tolong ibu bacakan surat ini. Val ingin tau apa yang ayah tulis sebelum memutuskan naik ke atas kursi dan mengikat lehernya sendiri."

Seketika Irene melebarkan matanya terkejut. "A-apa kau bilang? Mengikat leher?"

"Ibu, kata kakek yang ayah lakukan itu bunuh diri, kan? Val sering melihat ayah melukai tangannya sendiri ketika melamun. Karena Val tidak mengerti tentang bunuh diri, Val hanya diam melihat ayah yang terus melakukan itu. Val juga sering melihat ayah meminum obat dengan jumlah yang banyak, padahal ayah terlihat sehat walau wajahnya selalu sedih. Bu, ketika ibu Joy memukuli Val, Val sangat takut, tetapi Val lebih takut melihat ayah yang begitu. Val begitu takut pada ayah hingga tidak berani untuk bicara padanya. Val takut ayah yang berubah, Val juga takut ayah akan meninggalkan Val seperti Ibu. Apalagi ayah selalu menyebut nama ibu setiap waktu. Ibu, apa Ibu bisa membuat ayah berubah seperti dulu?"

Sudah tidak dapat diingat, berapa banyak air mata yang terus tumpah. Irene menangis tanpa henti mendengar perkataan Val yang bahkan membuat hatinya ikut sakit. Ia menangis pilu ketika membayangkan Taehyung yang sudah hilang keputusasaannya. Dan itu karenanya...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Related ✔️ [MASA REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang