Part +54

1.2K 235 67
                                    

Joy menghela napas sekadar untuk menenangkan dirinya ketika baru saja sampai dengan terburu-buru. Dia wanita yang super sibuk, yang mengharuskan ia bekerja sangat keras. Mulutnya melengkung membentuk senyuman saat Tn. Vincent datang menghampirinya. Dirinya berdiri untuk memberi salam, "Selamat sore, Jenderal."

"Selamat sore. Bagaimana kesehatanmu?"

"Anda menanyakan kesehatan pada seorang dokter." Joy terkekeh sembari mengeluarkan peralatannya dari tas untuk memeriksa orang tua di sampingnya.

"Ya, kau benar dan aku salah bertanya."

"Apa obat yang ku berikan telah habis?"

"Tidak, masih tersisa banyak di kamar."

"Harusnya anda menghabiskannya. Aku akan ambil obatnya untuk jenderal." Joy beranjak untuk berdiri, namun Tn. Vincent mencegahnya.

"Apa kau benar tidak ingin tawaranku?"

Dokter cantik yang setengah berdiri itu terduduk kembali. Lagi-lagi pertanyaan itu. "Sudah saya katakan, saya belum bercerai dan anak anda juga sudah beristri. Saya tidak ingin merusak rumah tangga anak anda walaupun rumah tangga saya berantakan." Dirinya sudah terlalu sabar untuk menghadapi sikap Tn. Vincent yang selalu memaksanya. Ingatlah bahwa ia masih punya harga diri.

"Ini bukan kemauanku tapi almarhum ayahmu."

"Apa?" Joy terkejut bukan main. Dirinya mendadak membeku dengan mata yang terbuka lebar. Perasaannya terus bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi di waktu silam.

"Ayahmu dulu pernah berjanji sebelum ia meninggalkan dunia. Berjanji padaku jika menikahkanmu dengan anakku. Tetapi, anakku malah memilih wanita lain dan pergi bertahun-tahun. Karena dari itulah ada tiga sebab mengapa aku tidak bisa merestui mereka, pertama karena wanita yang Taehyung pilih adalah warga Irak, kedua karena mereka beda keyakinan lalu ketiga, wanita itu menghalangi permintaan ayahmu ini. Itu permintaannya yang terakhir kali, aku tidak ingin mengecewakannya sebagai sahabat."

.

.

.

"Ibu, tadi di sekolah Val berteman dengan seorang anak yang berpakaian seperti ibu," ucap Val sembari membantu memakan cookies yang ibunya buat dengan susah payah.

Tangan Irene yang tadinya sedang mencetak kue kini terhenti untuk merespon anaknya dengan mimik wajah yang dilebih-lebihkan. Ia suka ketika Val sangat banyak bicara tentang hari pertamanya sekolah. "Itu berarti temanmu punya keyakinan yang sama seperti ibu."

"Apakah jika Val ikut keyakinan ibu, Val juga akan memakai kain itu?" tunjuk Val pada selendang yang tersampir di bahu Irene.

Irene tertawa saking gemasnya ia dengan anaknya. "Tidak," ia mengacak-acak rambut Val dengan pelan, "ini hanya untuk perempuan, laki-laki memakai peci."

"APA? PANCI? apakah seperti ini!" Val mempraktekan dengan sebuah panci kecil yang anak itu angkat tinggi lalu meletakkan panci itu ke kepalanya sendiri.

Irene tidak dapat menghentikan tawanya melihat tingkah polos namun justru konyol yang anaknya itu lakukan. "Bukan panci tapi peci. Jika nanti---" ucapan Irene terhenti saat kedua matanya melihat Joy yang ingin pulang setelah memeriksa ayah mertuanya. "Tunggu sebentar," pinta Irene pada anaknya. Dirinya berjalan ke meja makan lalu mengambil sesuatu yang memang telah disiapkan untuk Joy agar dibawa pulang. "Dokter Joy!" teriaknya.

Joy menoleh menampakkan wajahnya yang kosong. Lalu tersenyum paksa ketika Irene telah berada di depannya.

"Aku sengaja membuat sesuatu untukmu karena telah repot-repot datang kemari hampir setiap hari hanya untuk ayah." Irene menyodorkan cookies yang sudah ia kemas dengan sangat baik. Hasil karyanya dengan Val. Bukannya langsung menerima, dokter cantik itu malah menatapnya dengan maksud yang tidak bisa ia mengerti. Menatapnya seakan-akan ada sesuatu yang wanita itu tahan untuk dikatakan. Namun, ada satu hal yang dapat ia tangkap dengan jelas, mata yang tersirat akan kebimbangan

"Terima kasih banyak. Kau sangat baik," ucap Joy lalu menerima pemberian Irene, "besok aku akan datang lagi," lanjutnya.

"Apa kau ingin ku buatkan sesuatu lagi?"

"Tidak. Tidak perlu repot-repot," senyumnya pada Irene, "Sekali lagi terima kasih dan maaf." Joy menunduk cukup lama di hadapan Irene.

"Tolong jangan benci aku," ucap Joy lalu pergi dari hadapan Irene tanpa permisi. Meninggalkan Irene yang tidak mengerti, namun tidak berniat untuk bertanya. Menatap punggung Joy dalam diam dengan kening yang  berkerut. Dirinya tidak ingin ambil pusing, ia kembali melangkah ke dapur untuk melihat anaknya yang ia tinggalkan.

Besok atau suatu saat ia akan pasti tau permintaan maaf yang Joy maksud.


Related ✔️ [MASA REVISI] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang