Pagi ini sekitar pukul sepuluh pagi lewat beberapa menit Devan meminta izin ke guru piket untuk pulang karena dengan alasan yang dibuat-buat seolah tak kehabisan ide untuk membohongi guru. Tetapi berbohong demi menemui orang tercinta apa boleh buat? Motor Devan melenggang cepat meninggalkan parkiran sekolah. Setelah keluar dari halaman sekolahnya rasa lega timbul begitu saja dalam batinnya. Devan bebas dari penderitaan disekolah yang membosankan tanpa adanya Annisa. Berkat koneksi dan relasi yang Devan miliki akhirnya terkumpul informasi dimana Annisa di rawat? Sejak kapan dia di rumah sakit? Bahkan pengobatan yang Annisa Sedang jalani semuanya lengkap.
Devan melipir dulu di depan toko buah, membeli sebagai buah tangan untuk menjenguk Annisa, Pasti dia belom makan buah, pikir Devan. Menjenguk orang tanpa buah itu kurang mengenakan bagi yang dijenguk. Motor Devan melaju dengan cepat di antara jalanan yang cukup lenggang karena jam-jam di siang hari banyak pekerja, mahasiswa, siswa sekolah masih sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
Akhirnya setelah melewati perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan Devan sampai pada tujuan hatinya. Walau nanti Devan mengetahui akan kedatangan saudara-saudara Annisa yang menemani dirinya. Moga saja kehadiran Devan dapat diterima dengan baik oleh keluarganya. Langkah sepatu kets yang di kenakan Devan hampir tak mengeluarkan bunyi sama sekali. Sengaja tak memberi tahu tanda-tanda kehadirannya. Nafasnya menderu. Jantungnya berdetak cukup cepat seperti habis lari maraton. Devan bertanya kepada receptionist yang bertugas disana dimana ruang bernama annisa azzahra? Receptionist itu lantas memberitahukan jika ruangannya berada di lantai dua.
Rasanya seperti sedang dikejar oleh waktu. Di dalam lift, Devan sesekali tersenyum menatap layar ponsel yang dipasangi oleh foto Annisa sebagai wallpaper. Wajah natural Annisa memang tidak ada duanya, susah menyaingi dia. Tawa bahagia tanpa dibuat-buat, Ketegaran Annisa, Kesabarannya dan beberapa hal lain Membuat Devan berpikir dua kali atas kehidupan yang sering kali dikeluhkan.
Devan mengetuk pintu kayu bercat warna hitam serta tertulis 'Ruang anggrek'. Apakah anggrek salah satu bunga kesukaannya? atau memang ini ruangan yang dipilihkan oleh perawat olehnya? di balik kamar terdengar suara berat, Devan penasaran siapakah orang itu? Tapi Ini bukanlah suara ayahnya atau pamannya. Suaranya lebih mirip seumuran dengan Devan tetapi siapa? Hingga seorang pria jangkung mengenakan seragam yang sama dengan Devan sedikit terkejut saat melihat Devan ada di belakangnya.
"Lo ngapain kesini?" Tanya pria itu dengan nada dan wajah yang datar.
"Gue pengen jenguk Annisa"
"Oh jadi lo sekarang lagi pendekatan sama Annisa?" Tak ada respon sama sekali dari Devan melainkan tatapan penuh emosi dan tangan kanan yang terkepal kuat siap untuk memukul. Mendadak Bagas mendekat ke telinga Devan membisikkan sesuatu. "Asal lo tau seberapa keras usaha lo, dia enggak akan ingat lo"
"Gue ingetin sama lo jangan ganggu Annisa karena dia udah bukan milik lo lagi, Karena lo juga dia jadi cacat begini"
"Maksud lo?" Bagas tersulut emosi dan mencengkeram kuat kerah seragam Devan.
Devan tak menggubris. Tak peduli. Lalu ia masuk kedalam ruangan tersebut. Ruangan serba putih, bau cat yang menyengat dicampur aroma obat yang semakin Devan tak nyaman. Namun ketidaknyamanan itu berlangsung sesaat. Setelah itu hidungnya bisa beradaptasi dengan lingkungannya.
"Annisa" sapa lembut Devan kepada seseorang yang sedang membaca buku sambil bersandar di bahu tempat tidur.
Perempuan itu amat terkejut kedatangan devan. Lengkap dengan seragam sekolah. Apa jangan-jangan ia membolos. "Kamu bolos ya?"
Devan tertawa kecil. "Engga kok"
"Terus?"
"Aku kesini" katanya. Tersenyum lebar. Rasanya ingin sekali berada dekatnya. Duduk disampingnya. Meletakkan buahnya diatas nakas. "Gimana kondisi kamu" ucapnya sambil melepaskan tas dari pundaknya.
Annisa hanya tersenyum tipis. Seolah mulutnya tak bisa berkata baik atau tidak baik. Serasa terkunci oleh sesuatu.
"Kamu kenapa kok sampai dirawat begini?" Tanya devan bernada cemas.
"Gapapa kok, sudah biasa aku dirawat seperti ini sebelum kedatangan kamu"
"Cepet sembuh ya nis, aku pengen kamu bersekolah lagi"
"Enggak deh"
"Kok enggak?"
"Karena aku akan dirawat lama sekali"
"Yahhh jangan dong nis masa lama sih?"
"Emangnya kamu pikir aku sedang terkena flu saja? Sehari dua hari langsung sembuh? Ya kagak?!"
Devan tertunduk, diam. "Ehh tau gak nis tadi aku dicurhat bareng sama bu melan"
"Ohiya" Annisa tertawa.
"Iya beneran dia itu kayak temen aku aia"
"Parah ih kamu"
"Beneran" devan tersenyum lebar saat menceritakan itu semua. Tentang guru, kegelisahnya saat dikelas seperti orang terkena anemia. Namun ia tak memberitahu pasal foto yang Devan tempel di kolong bangkunya.
"Jadi kalau gaada aku, kamu bakalan gelisah gitu?"
"Iyaih" devan membentuk mulutnya seperti ini :( didepan annisa. Membuat perempuan ingin sekali mencubit pipinya. "Tapi nis, aku mau nagih soal jawaban atas pernyataan cinta aku ke kamu waktu itu. Kamu terima apa engga? Aku gamau tau, hari ini kamu kasih jawaban apa saja. Aku siap kok dengar"
Apa yang harus katakan? Tidak? Itu akan membuat batin devan menjadi sedih dan takutnya ia menjadi depresi saat mendengarnya. Lalu apa? Iya? Ah aku tak mau menerimanya secara langsung. Tapi seakan devan tak siap untuk menunggu walau sesaat.
"Devan" ucapnya dengan nada lemah. Menarik nafas lalu mengeluarkannya. "Aku sebenarnya masih ragu. Karena aku masih takut kalau kamu hanya menjadikan aku pelampiasan saja, dan aku tau kok kamu playboy disekolahan. Mantan pacar kamu cantik-cantik, sempurna. Sedangkan aku?"
"Udahlah nis jangan membandingkan dirimu. Bagiku kau beda dari mantan pacarku. Mantan pacarku memang cantik tapi hatinya tak secantik wajahnya"
Annisa masih berkalut oleh batinnya yang seakan terbagi dua pihak. Pro dan kontrak. Belom pernah annisa didatangkan dalam situasi ini. Tapi jawaban apa yang bisa annisa berikan?. Hanya sebuah anggukan kepala tanpa kata. Sudah memberikan jawaban yang Devan inginkan.
Perasaan itu sudah diterima.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Spontan in Love
Teen Fiction"Kenapa kamu jatuh cinta pada wanita seperti aku? Punya fisik yang tidak cantik dan sesempurna wanita lainnya?" "Terkadang cinta yang sesungguhnya itu bukan dari dia sempurna tapi, bagaimana ia mengubahnya menjadi sempurna," Kehidupan Annisa sebelu...