Kali ini benar-benar malam yang sangat melelahkan bagi devan. Tubuhnya sudah tak sanggup menopang terlalu lama dan kedua kakinya tak sanggup lagi melangkah lebih jauh. Sebetulnya ia ingin menemani perempuan tercintanya dirumah sakit tapi karena dia masih belom siuman serta aku merindukan kasurku jadi terpaksalah pulang kerumah. Didepan rumah, sudah ada dua mobil milik ayah dan ibu. Mungkin mereka sudah kembali kerumah setelah melakukan pekerjaannya. Devan melangkah masuk kedalam rumah sesudah melepas sepatu yang ia kenakan. Lalu aku mengambil sebuah gelas dan menuangkan jus apel yang ada didalam kulkas. Tegukan demi tegukan menyegarkan tenggorokan. Lebih sejuk dan segar ketika habis meminum wine atau anggur. Suasana rumah memang sangat sepi, sudah terlalu biasa. Lalu keheningan itu mendadak pecah akibat suara jatuhnya gelas kaca dari lantai atas.
Aku berjinjit menaiki tangga agar tidak membuat suara apapun itu. Semakin aku menaik tangga, semakin aku bisa mendengar suara tangisan ibuku. Apakah mereka bertengkar? Aku bersembunyi dibalik tembok dan duduk diatas tangga sambil menguping apa yang mereka bicarakan dari kejauhan.
"Sampai kapan lagi kita akan menutupi ini?" Kata tante runi berputus asa dan tidak tau harus berbuat apalagi. "Perusahaan aku bangkrut mas dan sekarang para investor berkurang dari biasanya"
"Sama aku juga capek...! Sepertinya kita harus segera mengakhiri hubungan ini" Keputusan fahri sudah bulat. Wajahnya tidak bisa diragukan kembali.
"Apa? Mengakhiri?" Runi sepertinya terkejut mendengar keputusan ini. Ia tak habis pikir dan merapihkan pecahan kaca yang berantakan diatas lantai. "Lalu bagaimana dengan devan?" Tanya runi sembari mengambil pecahan itu satu persatu dengan hati-hati.
Fahri menghela nafas dan mengibas wajahnya. "Untuk apa kamu kasihan padanya? Diakan bukan anak kita" Runi menoleh kepada fahri. "Benerkan? Dia itu cuman anak pungut aja. Lagian juga saya ga rugi malah saya ada waktu buat ngurusin keluarga" Runi kehabisan kata-kata untuk membalasnya. Lalu Fahri berdiri dan mendekat kepada runi.
"Sudah cukup runi... Saya gakuat menjalani hubungan kontrak ini. Lama kelamaan keluarga kita juga tau bahkan devan juga tau. Apakah itu sama saja menyakiti hatinya?"
Runi masih terdiam dan mencerna perkataan fahri.
"Ingat runi, aku... Kamu... Cuman sebagai rekan kerja atau bisnis jangan harap lebih daripada itu"
Akhirnya setelah lama ia memberanikan dan menjawab omongan mas Fahri walau ia harus menguatkan diri. "Aku tau mas, kita hanya sebagai rekan bisnis dan itu sudah dilakukan selama tujuh belas tahun lamanya dan kita memanen banyak hal disitu sampai kita bisa beli rumah ini. Runi tau kita hanya sebuah keluarga fiksi tetapi apakah kau tak memikirkan devan sedikitpun? Dia pasti kecewa kalo dia tau, mas bener lebih baik kita bercerai saja. Lagipula kita hanya nikah sirih bukan nikah resmi" Ucap panjang lebar runi kemudian pamit untuk membuang pecahan kaca ketempat sampah yang ada didapur tetapi ketika hendak pergi ketangga. Langkahnya terhenti, ia melihat devan sudah pulang. Berdiri disalah satu pijakan tangga dengan tatapan sedih dan tidak percaya telah mendengar semua ini. Kemudian ia membanting helmnya dan berlari keluar rumah.
"DEVAN!" runi mengejar anak itu. Ia membuang pecahan kaca tersebut kedalam tempat sampah. Tetapi kelajuan anak itu berlari sangatlah jauh, devan telah dahulu menancap gas tanpa ampun tanpa memakai helm. Runi menyesal mengapa hal ini harus didengar lebih dahulu oleh devan? Mengapa? Fahri dibelakang hanya berdiri dengan penuh prihatin ia tau bagaimana perasaan runi. Tetapi ini yang ia harapkan. Semua kepalsuan ini berhenti!.
***
Sudah pukul tengah malam malah hampir lewat. Devan masih melajukan kendaraannya melewati jalanan besar satu persatu. Dirinya tak peduli apakah terlalu lama berkendara dan juga tidak memakai helm yang ia inginkan saat ini adalah pergi sejauh mungkin. Bagaimana tidak hari yang aku jalankan ternyata begitu mengejutkan yang tak semestinya. Air mata menghalangi pandangan dikelopak mata aku. Sesekali aku menghapusnya. Aku masih bisa melihat dunia malam. Banyak preman berkeliaran, banci/lonte yang siap layani pria hidung belang serta tukang dagang lainnya sisanya hanya pengendara seperti diriku ini.
Tujuannya sudah berhenti. Aku turun dari motor lalu melepas sepatu, dan jaket. Angin malam berhembus kencang, ombak pantai begitu menggelegar serasa sedang mengamuk. Jari jemari Devan menyentuh butiran pasir halus yang indah. Pasir putih. Saat kecil ia sering membuat istana pasir. Tapi ahhh selalu dengan mereka berdua! Aku benci mereka! Aku benci semuanya!. Kakinya melangkah satu demi satu jarak. Hingga menyentuh pasir yang basah oleh deras ombak laut. Ketika kakinya disembur oleh ombak laut, devan merasa senang merasa bahagia, tertawa seolah baik-baik saja. Pada dasarnya ia tengah menangis dengan cara yang berbeda. Niatnya semakin mantap untuk terus melangkah dan air matanya berangsur kering. Dirinya melawan semua rasa dingin dan tak peduli apa itu akan membahayakan tubuhnya, toh sejak dulu aku tak pernah menjaga tubuhku.
Air pantai mendadak surut karena ditarik lalu kembali dengan ombak yang sangat deras hingga menumbangkan tubuh seseorang yang berdiri disitu.
"So you're happy now?"
***
Woahhh Mianhae yeorubun
Aku jarang update disini
Karena masih ada test yang aku harus kerjakan
Bukan rapid test yaDan doakan semua tokoh disini baik-baik saja. Aku gatau gimana tanggapan kalian atas ceritaku ini dari awal sampe bab ini? Klo ada yg gaje atau apa. Sharing" lah karena kita semua masih belajar.
KEEP SPIRIT YEORUBUN!

KAMU SEDANG MEMBACA
Spontan in Love
Novela Juvenil"Kenapa kamu jatuh cinta pada wanita seperti aku? Punya fisik yang tidak cantik dan sesempurna wanita lainnya?" "Terkadang cinta yang sesungguhnya itu bukan dari dia sempurna tapi, bagaimana ia mengubahnya menjadi sempurna," Kehidupan Annisa sebelu...