DuapuluhSembilan

101 3 0
                                    

"kapan gue bisa keluar dari sini?" Tanya devan bernada kesal. Ia meras muak karena tak bisa kemana-mana selain tiduran saja. Ia ingin bertemu dengan annisa dan semoga saja ia tak mengetahui kondisiku yang sebenarnya.

"Sabar van gue tau... Tapikan dokter gak izinin lu balik cepet, kondisi lu belom pulih" Ujar chacha menenangkan devan yang sudah tersulut oleh emosi.

Devan menghembuskan nafasnya. Berusaha mengatur emosinya yang memuncak. Sejak tadi hanya chacha yang menemani dirinya disebuah ruangan berbau obat ini. Orang-orang dirumah tak ada yang berniat untuk menjenguk apalagi menanyakan kabar tentang keadaanya. Memang benar-benar sudah lupa. Ponselnya masih dalam keadaan di cas. Belom sepenuhnya. Tetapi ia ingin sekali membuka chat annisa yang belom ia balas karena keburu mati. Annisa aku rindu :) andai kamu tau bahwa aku amat ingin bertemu denganmu dan aku ingin meminta maaf padamu karena sudah melanggar ucapanmu waktu itu :(

"Devan lo masih ingat gak anak kecil cewe yang selalu nemenin lo pas waktu kecil?" Tanya chacha. Berusaha agar devan mengingatnya namun kepalanya masih sakit sehingga mengaduh kesakitan. "Kalo kepala lo masih belom pulih lo boleh istirahat dulu"

Devan memejamkan matanya. ChaCha duduk menatap wajah devan. Sahabat masa kecilnya. Ia membuka galeri di ponselnya. Salah satu foto masa kecil antara devan dengannya yang tertangkap kamera jadul dengan filter yang belom mulus seperti sekarang. Raut wajah devan dan chacha nampak bahagia sambil berpeluk serta chacha memegang sekuntum bunga matahari yang devan berikan padanya. Seketika teringat pada masa tersebut.

"Ini buat chacha" Devan memberikan sekuntum bunga matahari yang baru saja ia cabut dari tanah. Dengan tangan yang kotor ia berikan pada chacha yang sibuk memainkan tanah. Hari itu sedang hujan ringan belom deras-derasnya. Chacha menerima bunga itu dan menempelkanya pada sisi daun telingannya. "Chacha cantik"

"Makasi" Chacha memeluk devan seketika itu baju kami saling kotor serta basah oleh air hujan.

"Heyy kalian sedang apa? Ujan-ujanan entar sakit lho" Ujar sang mamah waktu itu masih muda. Tengah menghampiri kami sambil memakai payung transparan kesukaannya. Mamah mengambil kamera dari dapur lalu memotret kami berdua dengan gembira.

Chacha hampir saja menangis mengingat masa kecilnya dengan devan. Ia bangga karena devanlah masa kecilnya riang. Walau sederhana tetapi itu amat melekat pada ingatanku bukan ingatanmu. Andai kaupun mengingatnya devan, mungkin kita akan bertukar pikiran bahkan saling menceritakan kehidupan kita saat ini. Sayang, kamu sudah remaja, kau berubah menjadi bengal. Tidak seperti pada masa kecilmu yang polos, baik, dan penurut.

Aku tahu semua tentang kamu karena akulah yang paling dekat denganmu. Ujar batin chacha.

*****

"Pa kemarin bagas kerumahku" Aku terpaksa mengatakan hal ini pada ayah agar semuanya terselesaikan. Lagian aku tidak tau apakah ayah mengetahui bagas datang kerumahku atau tidak? Tetapi ayah hanya diam saja.

"Ayah gatau saat itu ayah gaada dirumah" jawab ayahku sambil menyetir. Hari-hari disekolahku amat kacau. Aku tak bertemu dengan devan seharian ini, aku diuks setengah hari karena tadi pingsan bahkan prku belom sempaf kukerjakan. Aku tidak bisa kuat tanpamu devan... Aku butuh kamu... Aku rindu kamu devan... Aku amat bertemu dengan.

Sayangnya pesanku hanya bercentang biru. Apakah devan akan seperti bagas yang meninggalkanku dalam kondisi seperti ini? Ah sudahlah! Lagian semua cowok sama saja. Hal itu sanggup membuatku menangis hingga isakanku terdengar oleh ayah yang sedang menyetir.

"Kamu kenapa nangis?" Tanya sang ayah bernada khawatir. Ia lalu menepikan mobilnya dipinggir jalan untuk lebih khusyuk mengobrol denganku.

"Devan... Dia gak ada kabar" Kataku sambil terisak-isak. "Dia cuman baca pesan dariku tanpa membalasnya"

"Devan gak ketemu sama kamu emang?" Tanya ayah kembali dan aku mengangguk. Ayah merentangkan kedua tangannya, memberi kode untuk memeluknya. Aku menelukupkan kepalaku diatas dada ayah. Aku tumpahkan segala kesedihan padanya. Ayah mengelus rambutku. Salah satu trik jitu yang cukup mayoritas tetapi sanggup membuatku tenang dalam waktu pendek. "Udah udah jangan terlalu dipikirkan mungkin devan ada sesuatu, nanti dia pasti kembali" Ucap ayah bernada sok tegar. Padahal tanpa aku tau. Matanya ikut berkaca-kaca. Tetapi seolah dia tak mau terlihat lemah didepan hadapanku.

"Aku tau dia seperti bagas"

"Engga engga, ayah tau dia tidak seperti bagas" Ayah mencium dahiku. Kami melepaskan pelukan satu sama lain. Aku menghapus air mata yang membasahi kedua pipiku. "Ayo jangan sedih-sedih lagi. Annisa ayah harus semangat hehehe" tangan sang ayah mengacak-acak rambutku. Aku berdesis kesal.

Ayah menyalakan mesin mobilnya, meninggalkan pinggir jalan yang kami singgah. Sore semakin larut, senja semakin nampak dari atas langit tetapi mataku tertutup karena ngantuk akan udara. Macet. Ayah menatap dirika dengan tatapan yang penuh dengan penyesalan. Kepalanya tertunduk diatas setir yang berada didepan hadapannya.

Maafkan ayah nak, maafkan ayahmu yang pecundang ini.

***

Spontan in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang