Limapuluhsatu

80 3 0
                                        

Pagi harinya devan terbangun dirinya masih ada diatas sofa. Ia rasakan kepalanya amat pusing kemudian ia memakan pengar yang ada disamping dirinya. Mungkin ayah meletakkannya untukku. Aku kemudian berdiri dan berjalan ke dapur untuk mengambil makanan karena sudah lapar.

"Devan kau sudah bangun rupanya" Tanya runi, ibu devan yang sedang memaksa.

Devan hanya mengangguk dan duduk disamping ayahnya yang sedang meminum secangkir kopi sambil membaca koran harian. "Kau yang mengangkat panggilan tadi malam?" Tanya sang ayah, matanya tetap fokus menatap koran didepannya.

Devan mengangguk lalu meminum teh hangat. "Kau tau bahwa mengangkat telpon seseorang tanpa izin itu sangatlah tidak sopan" Ucap sang ayah bernada dingin.

"Maafin devan" ucapnya pasrah. Lalu sang ibu menyodorkan makananku berupa nasi goreng yang ia buat. "Makasi bu"

"Iya nak. Ibu berangkat dulu, sudah telat" Kata runi. Lalu ia bergerak kebelakang suaminya lalu menciumnya. "Aku berangkat dulu" Fahri hanya bergumam. Runi berjalan sampai keluar rumah hanya menyisakan aku dengan ayah yang sibuk membaca koran.

Tetapi perutku sudah lapar dan memutuskan untuk fokus pada makananku. "Kau tidak boleh minum alkohol" Ucapnya. "Remaja seperti kau sangat rentan terkena penyakit" Devan mengerti, ayahnya sedang menasihati dirinya tapi nasihatnya seolah berupa ketidakpedulian yang dipaksa menjadi peduli.

"Iya ayah maafkan devan"

"Selama ayah dan mamah tak ada kau banyak bermain?" Tanya sang ayah.

"Ayah tau ga? Devan kangen sekali sama ayah. Ingin devan jalan-jalan sama ayah. Lupakan"

Fahri hanya menatap datar wajah devan. "Ayah tidak ada waktu. Ayah dikasih..."

"Kapan ayah ada waktu buat devan?!" Marah devan memukul meja sampai Fahri kaget. "Tiap kali selalu saja tidak bisa. Lalu ayah DIKASIH libur hari ini buat apa? Ngasih makan kambing?" Fahri terdiam. "Lupakan saja ayah. Devan muak"

Devan berlari menuju kamarnya. Fahri cuman terdiam, bagaimana ia bisa jelaskan yang sebenarnya. Ini amatlah rumit dari biasanya. Anak itu mungkin bebal tapi dirumah dia hanya butuh kasih sayang serta perhatian dari mereka berdua tapi seakan susah sekali.

***

Keesokan harinya...
Tak terasa sudah masuk hari senin lagi padahal baru kemarin minggu. Waktu berjalan cepat. Annisa tidak ingin sekolah tapi paksaan ayahnya seakan tak bisa ditolak oleh ayahnya. Lagi dan lagi. Dirinya hanya duduk berhadapan dengan kolam renang sekolahan. Lapangan sekolah dipakai upacara. Tidak bisa digunakan untuk berjemur.

Entah kenapa gitu annisa merasa kesepian sekali hari ini. Biasanya devan selalu ada. Eh! Ko devan? Engga engga gue pokoknya harus bisa melupakan pria itu. Annisa mengirim pesan pada bagas namun pria itu jarang sekali online. Membuat annisa semakin bosen saja berada disini. Chacha melihat annisa sedang berjemur dihalaman belakang sekolah, iapun menghampiri anak itu.

"Hei" sapa chacha. Annisa mendongak dan tersenyum. "Lu sendirian aja nih?" Tanya chacha. "Mau gue temenin? Biar gak bosen. Gue tau lo pasti bosen, sendirian disini kan?"

"Lu gak ikut upacara?"

"Halah santai aja kali lagian amanatnya bentar lagi juga udahan"

"Entar ketahuan sama osis baru tau"

"Gamasalah"

Mendadak tolakan chacha membuat annisa teringat akan devan yang selalu menolak untuk pergi kekelas dan lebih memilih menemani aku berjemur dilapangan. Panas-panasan bareng. Bahkan ia ingat sekali ketika devan makan dilapangan saking tidak maunya meninggalkan annisa sendirian. TAPI ITU DULU.

Spontan in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang