Sembilan

229 12 0
                                    

Pagi hari yang berbeda dengan pagi hari kemarin. Devan nampak tertunduk lesu diatas meja kantin. Sendirian. Tak ada sahabat konyol yang menemani karena mereka semua kabur alias mabal. Devan tidak mengetahui jika Annisa tidak hadir di sekolahan itu sebabnya Devan nampak murung dan lesu. Sayang sekali perempuan berkursi roda itu tidak menunjukan tanda-tanda kehadirannya di sekolah. Bagi orang lain ini merupakan suatu keberuntungan karena sekolah aman damai dan tidak rusuh oleh komplotan Devan apalagi di kantin. 

Ketika guru menegurnya di kantin lalu duduk berhadapan dengan Devan dan bertanya apakah kamu sakit? Devan hanya diam seribu kata dengan tatapan kosong dan kepalanya tertunduk. Guru yang dikenal sering menjewer telinga berandal sekolah ini ternyata  yang paling kenal betul dengan Devan. 

"Kamu sedang ada masalah?" Tanya guru duduk didepan hadapan devan yang masih terdiam.

Sekali devan hanya menggelengkan kepalanya. Tidak ingin banyak bicara.

"Tumben kamu pendiem banget pagi ini?" Ucap guru di depannya sambil tersenyum sumringah. Devan mengangkat kepalanya menunjukkan wajah dengan mata yang merah serta pipi kanan-kiri yang basah oleh air mata. "lhoo kamu nangis to? Kenapa? cerita sama ibu" Ibu guru tetaplah ibu di sekolah. Se badung-badungnya murid di sekolah tetaplah seorang murid di hadapannya. Devan berusaha keras menyembunyikan isak tangisnya agar tak terlihat namun, tetap saja gagal. Bahkkan, beberapa orang yang masih di kantin belum masuk ke kelasnya masing-masing pun terkejut melihat Devan menangis bertanya-tanya 'kenapa sama dia?' 

Devan berusaha menghentikan rasa sedih di hatinya agar tak makin mewek, lalu berusaha menenangkan batinnya agar bisa berbicara dengan jelas. "Annisa ga masuk sekolah bu" ucapnya dengan tertunduk bagaikan maling yang ketangkep basah oleh massa. 

"Lho ibu kira ada apa tau-taunya cuman Annisa to? Hmmm Devan Devan" Ibu ini menepuk jidatnya dengan kelakuan Devan. 

"Annisa itu penyemangat saya sekolah bu, kalo enggak ada dia saya udah pergi mabal tadi pagi"

"WEH jadi kamu mau ibu hukum?!"

"Ibu ini marah-marah mulu anak ibu bentar lagi lahiran" Devan menghembuskan nafasnya dengan berat. "Devan lagi ga bersemangat buat berbuat keonaran di sekolah, jadi ibu bisa tenang buat satu hari aja"

"Alhamdulilah akhirnya doa saya terjawab tuhan" Ucap syukur bu guru dengan kedua tangan di satukan. "Ngomong-ngomong annisa yang kamu maksudkan itu yang mana?" 

"Annisa yang pakai kursi roda itu lho buu"

"Ohhh yang itu? Tadi sih ayahnya memberikan surat dokter sama izin ke pihak sekolah katanya sih annisa mau di opname dalam waktu yang lama di rumah sakit"

"Dirawat berapa lama bu?"

"Ibu juga kurang tau, yang ibu dengar cuman itu aja"

"Saya boleh lihat suratnya gak bu?"

"Suratnya sudah di antar oleh sekertaris kelasnya"

"Baik bu terima kasih permisi" Ucap Devan lalu berlari cukup cepat meninggalkan kantin. Bu guru itu hanya tersenyum mengangguk-anggukan kepalanya sambil berkata iya. Tetapi beberapa saat kemudian, bu guru itu tersadar jika dia seharusnya memberi hukuman pada Devan karena masih di kantin ketika jam kelas sudah mulai. Tapi, dia mengikhlaskan saja untuk satu hari mumpung moodnya sedang bagus-bagusnya. 

***

Devan berjalan pelan di koridor sekolah sesekali mengecek ponsel milknya. Berusaha menghubungi Annisa. Namun tak kunjung di respon oleh Annisa. Devan hampir putus asa. Seketika mood sekolahnya hancur. Mungkin Annisa sedang beristirahat pagi ini dan handphone-nya di nonaktifkan. Semoga Annisa cepat sembuh, doa Devan dalam hatinya. Devan berhenti didepan pintu kelas, menatap sudah ada guru yang sedang duduk. Sibuk. Kemudian salah satu temannya melihat Devan di luar dan memberikan isyarat untuk lebih baik di luar saja gausah masuk. Namun, Devan memberanikan diri untuk masuk ke dalam kelas sambil mengucapkan salam dan mencium punggung tangan guru yang sedang mengajar dikelasnya. Tata krama manusia ketika masuk. 

"Kamu habis dari mana?"

"Abis dari toilet pak, BAB, terus ke uks minum obat" Alibinya sangat tepat. 

"Nama kamu siapa?"

"Devan Wijayanto"

Pak guru memberikan tanda ceklis di daftar kehadiran devan. Mempersilahkan Devan untuk duduk kembali ke bangkunya. Wajah Devan pucat seperti orang terkena anemia. Di kolong bawah meja terdapat foto annisa yang sengaja ia cetak dan di tempelkan. Jika sewaktu-waktu Devan bosan dengan pelajaran, ia bisa melihat foto Annisa. Ada rasa semangat tersembunyi dibalik foto ini Devan tersenyum untuk kesekian kalinya namun senyumannya kini getir. Tak ada senyum tulus. Dimana hanya foto ini yang bisa Devan pandang. Annisa, aku rindu :"(

***

Spontan in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang