🎵 Celengan rindu~fiersa besari🎵
Malam hari yang begitu hening. Devan sedang duduk diatas kursi sambil memainkan gitar. Suara berat nan fals itu terdengar hingga seisi kamarnya. Devan tak masalah dengan suaranya toh tak ada yang dipermasalahkan. Devan emang suka bernyanyi walau suaranya tidak bagus tapi jari-jemarinya lihai memetik senar gitar.
"DAN TUNGGULAH AKU DISANA... MEMECAHKAN CELENGAN RINDUKU! BERBONCENG DENGANMU, MENGELILINGI KOTA, MEMANDANG SURYA PERLAHAN MENGHILANG!..."
Nyanyian Devan yang fals itu terhenti karena suara dering ponselnya. Panggilan dari sang kekasih yang rindu padanya. Devan sudah tahu itu. Ia amat semangat mendapatkan panggilan dari dia.
"Hallo sayang ada apa?"
"Aku chat ko kamu ga balas sih?!" Terdengar dengan nada yang sedikit marah.
Devan tersenyum. "sengaja"
"Ihhh ngeselin banget sih kamu" Devan tertawa kecil. "Kalo gitu jangan harap aku balas chat kamu" ancam annisa.
"Ihhh janganlah sayang ya maaf aku tadi lagi main..."
"Main aja terozzz lupa sama pacarnya! Udah kamu cintai aja gitarmu"
"Kok kamu tau aku lagi main gitar?"
"Iyalah aku tau"
"Kamu lagi kedatangan bulan ya? Ko sampai marah-marah gitu ke aku? Maafin aku klo salah"
Terdengar hembusan nafas dari annisa. "kamu emang salah"
"Iya aku yang salah. Kamu yang gak salah"
"Aku emang ga salah! Udah ah malasin!"
Annisa memutuskan panggilan.
Devan menghembuskan nafasnya, ia baru tau jika annisa bisa semarah itu padanya. Membuat devan merasa bersalah. Apa yang bisa ia lakukan agar malaikat dirinya bisa tersenyum seperti dulu lagi?
***
Annisa mengkhusukan dirinya berada diluar ruangan, ia merasa sumpek and sesak jika didalam kamar terus. Sekali-kali ia ingin menghirup udara bebas. Jika dirinya bisa berjalan mungkin saja aku dapat mengajak dia untuk ikut bersamaku. Mengelilingi taman, bermain air disungai. Namun itu hanya akan jadi mimpi yang takkan pernah menjadi kenyataan. Aku sudah memberikan segalanya atas takdirku yang begitu malang.
"Annisa" suara itu... Suara yang tak asing ditelinga annisa. Pria yang baru saja dimarahin barusan kini berada tak jauh dibelakangku sambil membawa kantong plastik yang entah apa isinya. Annisa hanya bermuka datar, kemudian ia melihat kedepan.
Devan menghampiri annisa. Berdiri dibelakangnya seperti biasa. "Udah dong marahnya" bujuk Devan.
Annisa tidak merespon.
"Ini aku bawain kamu pembalut"
Annisa melirik sekilas. "Ngapain beli itu? Aku juga kan punya"
"Yaa siapa tau kalau habis gak kerepotan harus beli lagi"
Annisa menimang lalu ia mengambil kantung plastik yang berisikan pembalut. "kamu tumben disini? Gak dikamar kayak biasanya" ucap devan.
"Bosen tau dikamar haduh..." Perut Annisa mengalami kesakitan yang luar biasa. Kedua tangannya memegangi perut bagian bawah. "Devan... Haduhh"
"Kamu kenapa? Sini aku gendong kamu kekamar" Devan berjongkok. Annisa menempelkan tubunnya diatas punggung devan. Dengan cepat devan membawa annisa menuju kamarnya. Tak peduli jika dirinya lelah menaiki tangga karena yang terpenting annisa bisa kekamar mandi.
Devan akhirnya bisa membawa annisa kedalam kamar. Lalu meletakkan annisa diatas kasur. Annisa mengaduh kesakitan membuat devan khawatir kelimpungan. "Bentar aku ambil kursi roda kamu ya"
"Devan... Sekalian panggil bi iyem didapur" Perintahnya. Suara lirih annisa membuat devan sigap.
Setelah mengambil kursi roda. Devan memberitahu kepada bi iyem yang sedang nge dj didapur. Bi iyem dan devan berlari cepat menuju kamar annisa. Sebelum itunya keluar lebih awal diatas kasur.
Beberapa menit kemudian... Devan menunggu sambil duduk diatas kasur annisa. Annisa telah selesai. Ia sudah duduk diatas kursi dengan wajahnya yang pucat. Annisa meminta bi iyem untuk memindahkan dirinya keatas kasur. Bi iyem pergi meninggalkan kami berdua. Pintu tidak tertutup, biar tidak terjadi fitnah diantara aku dengannya.
"Kamu udah baikan?" Tanya devan. Annisa mengangguk. Lalu ia rebahan diatas kasur dengan setengah tubuhnya yang sudah tertutupi oleh selimut. "Kamu ngantuk?" Tanya devan kembali. Annisa mengangguk. "Wajah kamu pucat, kamu besok pasti gak sekolah" devan mendekat. Mengusap dahi annisa dengan lembut.
"Aku besok bakalan sekolah ko devan"
"Tapi... Tadi aja kamu sumilangeun. Gimana nanti kalo disekolah"
"Aku gatau devan... Aku pengen tidur, lelah"
Devan mengangguk dengan wajah manisnya. Mengecup kening annisa. Wanita itu sudah menutup matanya. Wajah tenangnya saat tidur membuat devan ikut terbangun suasana ngantuk. Angin malam begitu lembut mengusap wajah devan. Devan lalu memeluk tubuh annisa, ikut tertidur. Walau terdengar suara dengkurannya tetapi annisa tak terganggu. Seolah dia benar-benar sudah pulas.
Bi iyem yang melewati kamar annisa. Otomatis kaget. Lalu melaporkan pada ayah annisa. Namun apa yang dibenak bi iyem tentang ayah annisa justru berbanding terbalik.
"Biarkan saja. Saya tau, dia tidak akan berbuat macam-macam pada anak saya. Dia anak yang baik. Akan saya bangunkan dia pagi-pagi sekali agar tidak terlambat dia sekolah"
"Bagaimana tuan tau kalo anak cowok itu baik? dari pakaiannya saja sudah keliatan kalau dia anak nakal"
"Keliatannya nakal tapi dalamnya belom tentu seperti covernya. Pria yang mencintai anak saya pasti bukan pria yang biasa"
Ayah annisa pergi menuju kamarnya. BI Iyem begitu salut kepada majikannya. Dia kira, majikannya akan memukuli atau bahkan memarahi cowok itu. Namun persepsi bi iyem salah. Jika cowok itu pria baik, maka itu bagus. Itu artinya annisa masih bisa bertemu dengan orang-orang baik.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Spontan in Love
Ficção Adolescente"Kenapa kamu jatuh cinta pada wanita seperti aku? Punya fisik yang tidak cantik dan sesempurna wanita lainnya?" "Terkadang cinta yang sesungguhnya itu bukan dari dia sempurna tapi, bagaimana ia mengubahnya menjadi sempurna," Kehidupan Annisa sebelu...