Enampuluhempat

56 2 0
                                        

Bagas mengantarkan berkas soal ujian yang ia ambil dari sekolahan. Annisa mengucapkan terimakasih kepadanya. Lalu  dia meneguk teh yang disiapkan untuknya. Suasana kali ini sama saja seperti sebelumnya, membosankan. Raut wajah Annisa saat menatap kearah jendela membuat harapan ingin melangkah keluar semakin tinggi. Dirinya harus mengerahkan semangat dan menangguhkan niat. Bagas yang sejak tadi berdiri kemudian duduk diatas sofa, berjarak lumayan jauh dengan Annisa. Suasana canggung mulai terjadi setelag bagas mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebuah pengacau hubungan sahabatnya. Seharusnya bagas tak berada disini. Tapi kalo tidak disini mana mungkin permusuhan dengan devan bisa berakhir? Mungkin akan lanjut sampai generasi tiga mereka.

Annisa meneguk jus seledri dan merasakan kenikmatan aroma dari teh hijau. "Katanya jus ini manjur buat persendian" Annisa berkata agar suasana tak semakin hening. "Tapi harus diiringi latihan jalan secara rutin" Sambungnya.

Bagas terdiam entah apa yang ia ingin katakan. Tetapi niatnya itu terpaksa diurungkan sejenak dan telah lupa apa yang ingin dia katakan pada annisa. Mumpung orangnya berada didepan mata. "Kamu... Masih lama disini?" Tanya bagas.

Annisa tersenyum. "Seperti itulah, rumah sakit sudah aku anggap sebagai rumah ketiga setelah sekolah"

"Berbaikanlah dengan devan" Ucap bagas spontan tanpa mikir dahulu. Annisa menoleh kearah bagas dengan tatapan terkejut. Bagas menjadi kikuk dan gugup karena mengatakan hal itu. "Devan tak sepenuhnya salah, jadi maafkan dia"

Annisa melihat teh hijau ditangannya sudah habis lalu dirinya mengambil teko yang diletakkan disamping nakas tempat tidurnya. Lalu menuangkannya kedalam gelas hingga terisi setengah penuh dan langsung meminum secara perlahan-lahan. "Kamu tahu kadang memaafkan itu mudah, hanya saja introspeksi saja yang mengulurkan waktu lama"

Bagas tak mengerti.

"Aku butuh waktu untuk merelakan segalanya gas tak semudah apa yang kamu katakan tadi" Annisa tersenyum tipis.

Bagas mengangguk paham dan tidak mau memperpanjang urusan ini. "Hmm omong-omong pas aku ke kantor polisi kamu diantar pulang sama siapa?"

"Aku diantar oleh gerald"

"Siapa dia?"

"Salah satu anak magang disini"

Bagas hanya ber-oh saja. "Kalo begitu syukurlah ada yang mengantarkan kamu pulang soalnya pas aku kembali kepantai kamu sudah tidak disana lagi"

Annisa tersenyum lagi. Meletakkan gelas disamping teko lalu membuka bungkusan amplop coklat berukuran sedang dan mengambil salah satu lembar soal dari dalam. Annisa membaca soal itu dengan saksama, soal biologi. Amat menyenangkan betapa annisa sangat menyukai pelajaran yang satu ini. Tapi mengapa ucapan bagas barusan menjadi terngiang-ngiang dalam pikiran. Membuat aku tak bisa berkonsentrasi dalam menjawab soal-soal.

***

Devan mengemasi beberapa barang yang mampu ia bawa dengan tas berukuran sedang. Intinya dia tak mau tinggal dirumah yang isinya pembodohan. Kemudian Devan teringat akan sebuah foto yang ia temukan waktu lalu digudang. Devan berlari ke gudang dan menyinarinya dengan senter yang dia bawa. Foto itu berada dibawah tumpukan berdebu samping mainan masa kecil devan.

"Mberrrr mberrrrr mobil Apanjaaa mao lewat mberrrr"

"Devan ayoo buat istana lumpur disana"

"Ga ah kotor entar banyak kuman"

"Ayooo pasti menyenangkan"

Betapa manisnya masa masa itu. Bermain lumpur bersama chacha sampai mobil yang tadinya bersih. Kotor oleh lumpur yang belepotan dimana-mana.

Hujan mendadak turun dengan deras, tanah-tanah kering mendadak menjadi basah serta berlumpur. Devan menari-nari kegirangan menyambut hujan turun walau kadang terasa menyakitkan. Chacha juga melakukan hal yang sama. Sampai devan iseng mengotori wajah chacha dengan lumpur, merekapun berlarian dan terjatuh bersama sambil tertawa.

Devan hampir menitikan air mata saat melihat album foto masa kecilnya. Tante runi mengabadikan momen ini bersama chacha saat waktu bermain secara diam-diam. Wajah aku lucu juga waktu kecil hehe. Devan menutup album itu dan dia sudah mendapatkan apa yang ia cari. Devan kembali ke kamarnya dan mengambil tas. Rumah sudah kosong, tidak ada kedua orang tua pengkotan.

Mungkin saja mereka sedang berbahagia dengan keluarga aslinya dirumah. Devan mengunci pintu berumah besar lalu menaruhnya dibawah keset agar mudah dicari. Dalam hati, Devan mengucapkan selamat tinggal pada rumah yang memberinya kenangan sekaligus luka. Kenangan tentang rumah ini tetap masih ada tetapi luka? Hmm devan harus segera pulih. Papan reklame bertuliskan "FOR SALE" terpajang didepan rumah. Mungkin saja mereka sudah tak peduli dengan rumah ini dan kini aku yang memegang kendali semuanya. Motor devan melaju keluar dari halaman untuk terakhir kalinya. Goodbye.

***

Spontan in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang