TigapuluhDua

92 4 0
                                        

Annisa mendorong kursi rodanya menuju pintu. Kemudian ia membuka pintu dan ternyata bagas tidak ada begitu juga chacha. Entah kemana mereka berdua? Annisa tidak tau. Bahkan ketika annisa bertanya pada orang-orang disekitar mereka telah pergi. Annisa mendengus sebal kemudian menelpon bagas, dimana ia sekarang? Teleponnya masih berbunyi belom diangkat oleh pemiliknya. Annisa terpaksa menelpon sang ayah untuk menjemputnya disebuah rumah sakit. Sekali lagi, annisa merasa terpaksa dan semoga ayah tidak bertanya alasan kenapa annisa bisa dirumah sakit.

Annisa menunggu didepan ruangan devan. Cowok itu kini sudah tertidur sekian lama matanya terbuka lebar tak kunjung tertutup. Itupun annisa harus mendongengkan Devan dengan cerita si buaya dan kucing balangsak. Secepat kilat ayah annisa langsung tau dimana posisi anaknya dimana. Berlari tergesa-gesa menuju annisa.

"Kamu kenapa bisa dirumah sakit? Abis jenguk siapa? Siapa orangnya?" Beragam pertanyaan terlontar begitu saja dari mulut posesifnya seorang ayah.

Annisa menepuk jidatnya. "Aduh ayah kepo banget sih. Annisa abis jenguk teman. Dia abis kecelakaan" Kataku. Tetapi ayah menatap seolah aku ini berbohong. Tidak percaya. Begitu juga aku yang tak percaya dengan kebohonganku.

"Setau ayah, kamu Hanya memiliki satu teman dekat. Devan" Tebak ayahnya secara tepat pada sasaran. Annisa langsung kebingungan, ia tak tau harus bagaimana menyingkapinya. "Ayah tau itu. Sekarang katakan jujur ada apa dengan dia"

Annisa menelan ludahnya, menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan. "Ayah janji jangan marah depan devan ya" Ayah mengelengkan kepalanya. "Devan kecelakaan dia mengalami luka-luka dibeberapa tubuhnya. Dia sedang tidur dan sedang dirawat diruangan persis dimana aku berdiri" Kata annisa pasrah.

Sang ayah tanpa basa-basi langsung membuka pintu ruangan. Mendapati devan tengah bermain game cacing. Dia belom sepenuhnya tidur. Annisa bahkan sampe kaget. Devan juga. Matanya terbelalak kaget melihat semua ini.

"Devan bukannya tidur malah main hape pasti main cacing" Ucap annisa.

Devan hanya menyeringai sambil mengaruk kepalanya yang tak gatal. "Maaf tadi aku cuman pura-pura aja"

Annisa hanya menghembuskan nafas kesalnya. "Kamu bener kecelakaan?" Tanya ayah annisa. Devan mengangguk takut. Lalu dirinya mendekat pada devan. "Om kasihan padamu. Lain kali kalo bawa motor jangan dibawa kebut terus juga..."

Belom sempat dirinya menyelesaikan semua perkataan bijaknya. Devan terbangun setengah badan dan langsung memeluk badan ayah annisa tak lama kemudian terdengar suara Isak tangisan devan. Dirinya terkejut dan membalas pelukan devan bagaikan anak kecil yang sudah lama ditinggal oleh kedua orang tuanya.

"Kamu kenapa? Kok nangis sambil meluk om kayak anak kecil yang ditinggal lama oleh kedua orang tuanya" ucap ayah annisa sambil tersenyum tipis walau hatinya mulai ikut menangis

"Devan terharu, baru kali ini devan ngerasa, ada sosok ayah yang lebih sayang pada devan" Devan melepaskan pelukan. "Dan ucapan bahwa devan kayak ditinggal lama oleh kedua orangtuanya itu memang benar adanya. Sampai sekarang belom ada sanak Saudara yang jenguk devan. BAHKAN AYAH IBU DEVAN SEKALIPUN" Tangis devan memuncak memecahkan segala keheningan yang ada. Bahkan annisa hanya bisa melihat sambil tak menyangka bahwa tangisan devan sehisteris itu. Bertanda bahwa dirinya telah lama menyimpan semua kesedihan. Mangkanya tangisannya terlalu kencang.

"Ingat nak devan. Om adalah ayahmu juga" Ucapnya. Menenangkan devan yang dirundung emosi ambyar. "Jadi jangan ngerasa sendiri didunia. Ada annisa ada om, itu udah lebih dari cukup. Anggap aja kita ini adalah keluarga oke?" Memang benar-benar ayah yang baik, perhatian serta lemah lembut, penenang, tak emosian, Tidak galak tapi tegas.

"Iya van kalau kamu ada apa-apa jangan sungkan cerita sama kami" sambung annisa.

"Betapa aku beruntung ketemu kamu nis. Kenal kamu, kenal om yang udah aku anggap sebagai ayah sendiri dan..." Air mata tak mampu dibendung walau sekuat apapun itu tetap aja mengalir terus. "... Devan baru merasakan kehangatan keluarga" lanjutnya.

Annisa membuka tas kecilnya dan mengambil tissue lalu memberikannya kepada devan. "Makasi" ucap devan. Ia hapus semua air mata yang membasahi kedua pipinya. Matanya sembap. Bahkan permainan cacingnya sontak terhenti.

"Mulai sekarang jangan sedih lagi yak nak apapun itu kamu hadapi, semangat!" Betul-betul ucapan ayah annisa membuatku merasa jauh lebih baik dan bertekad untuk terus rajin check-up. Lebih berhati-hati menjaga diri agar tak melukai diri sendiri kembali. Karena aku ingin bersama annisa terus. Semoga tuhan memberikanku kesehatan abadi serta memberikan Annisa umur panjang dan kesehatan yang panjang juga. Aku senang liat annisa merasa jauh lebih baik.

Tapi, maafkanku om. Terpaksa aku berbohong agar tak membuat kalian kecewa betapa buruknya aku.

***

Spontan in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang