Chacha menjemputku untuk pergi menemui devan dan lainnya dibagas takut terjadi hal yang sama sekali tidak diharapkan olehnya. Tetapi keberangkatan itu ditahan oleh perawat yang tadi mengajarkan caranya berjalan. Dia berlari menghampiri aku yang hendak melangkah pelan masuk kedalam mobil sambil di mapah oleh chacha. Dia memaksaku untuk duduk diatas kursi roda lalu memutarnya. Aku berusaha menolak tetapi dia tidak menghiraukannya. Chacha berusaha membantuku tetap saja tidak bisa hingga aku memberontak dan semuanya terdiam.
"Aku sudah izin dengan rumah sakit dan mereka sudah memberikan surat izin kepada temanku!" Kataku menjelaskan padanya. Diapun menerima sebuah surat yang dipegang oleh chacha. Sehabis membaca dia menatap kepadaku, tatapan untuk tidak pergi. "Lalu sekarang apa?"
Pria itu menghela nafas, memberikan surat itu kembali pada chacha. Kemudian pergi meninggalkan kami berdua tanpa sepatah kata. Kadang, annisa sendiri tidak memahami pria itu. Mungkin karena dia masih remaja dan sedang praktik kerja lapangan, emosinya sedikit labil tidak terkendali. Tanpa pikir panjang, chacha langsung mendorong kursi rodaku menuju mobil sekaligus mengajarkan aku untuk belajar beberapa langkah hingga bisa masuk kedalam mobil dengan kakiku sendiri. Ini mungkin awalku untuk tidak merepotkan orang lain kembali.
***
Suasana disebuah tempat cafe mereka meminum cofee yang dipesan elang itu amat sepi. Ditambah pengunjung hanya mereka bertiga. Tidak ada sama sekali obrolan dari mereka bertiga hanya sama-sama menatap pantai dari kejauhan. Mata elang melirik kekanan-kekiri, betapa berubahnya kedua sahabat sejak masih kecil. Yang dahulunya sangat hewir kini sedikit pencicilan. Serasa ini bukan bagas-devan yang elang kenal tapi orang lain.
Sudah tidak ada pilihan lain, elang lebih baik memulai, ia salah satu orang yang tak tahan akan kesunyian dan kecanggungan sebuah hubungan. "Kalian berdua kenapasi? Daritadi diem saja? Bukannya dulu kalian paling berisik dan gue yang paling diem? Kok sekarang kebalik" Elang menyeruput kopi yang ia pegang. Tetap saja kedua sahabatnya itu tak kunjung bicara walau sudah dipancing. "Apa kalian saat smp ada problem? Ayolah gue kan gatau perkembangan kalian selama lima tahun terakhir ini? Jarang-jarang lhoo kita kumpul kayak gini belom tentu kita bisa seperti ini lagi" jelas elang mengupayakan segala hal. Namun itu belom cukup untum mereka nyapnyap seperti dulu.
Devan menghela nafas merasa kasihan mendengar elang saja yang nyapnyap. Setidaknya, ini jadi hal yang baru bagi mereka sama sekali. "Ohiya si chacha mana si? Lama banget belom balik-balik sampe sekarang" kata elang melihat jam tangannya yang sudah pukul tiga sore lewat tiga puluh menit. "Omong-omong lu masih ingat chacha teman masa kecil lho itu?" Devan menoleh cepat. "uhh! Kalian waktu sd sering dikatain pacaran sampe si bagas cemburu wkwkwkwk"
Tetapi devan tidak tertawa, ia sama sekali tidak ingat siapa itu chacha dan siapa juga elang yang mengaku teman masa kecilnya tapi ia hanya mengiyakan saja. Ditambah mood berantakan karena disamping ada orang yang paling ia benci.
"Tunggu maksud lu chacha yang mana? Gue lupa soal itu" Senyum yang tadinya merekah di bibir elang mendadak longgar membentuk garis datar. "Soalnya ada cewe yang ngaku-ngaku dia itu temen masa kecil gue, yaahh gue iyain saja dan anggap sebagai temen"
"Lu beneran lupa akan masa lalu elu? Yang bener?" Tanya sekali bagas untuk menyakinkan kini devan mengangguk penuh yakin. Bagas tak percaya akan hal satu ini. Tetapi bagaimana ia bisa masih mengingat Bagas, jika ia ingat dengannya maka kemungkinan juga ia ingat sahabat-sahabatnya. "Gas lo kok diem saja daritadi kesambet limbad lu?" Gurau elang, iapun menghabiskan kopinya.
Tak disangka bagas mengajak elang untuk sedikit menjauh dari devan. Sepertinya pembicaraan antara mereka berdua cukup serius. Bagas berbisik pada elang agak tak terdengar devan memberitahukan kepadanya jika dia mengalami amnesia atau hilang ingatan sebagian. Tidak kehilangan segalanya tapi hilang sebagian. Elang mengerti arah topik pembicaraan itu, dia mengajukan jempol pada bagas. Dia juga sepertinya satu team denganku ingin mengembalikan ingatan devan. Jujur, bagas sudah muak dianggap sebagai orang yang menyebalkan terus menerus oleh devan. Inilah yang membuat elang serta bagas membuat kesepakatan.
***
Tante Runi melaporkan atas kehilangan anaknya kepada pihak Kapolri seusai prosedur karena sudah dua puluh empat jam tidak menunjukan keadaan akan kembali. Ditambah mereka sudah pergi ke pengadilan agama untuk mengurusi prosesi perceraian yang akan dilakukan sidangnya bulan depan. Mereka harus menunggu satu bulan ditahun baru. Tetapi kali ini diantar oleh fahri disampingnya, bukan rafki. Polisi meng-acc kasus ini dan akan segera ditindaklanjuti oleh petugasnya. Mereka menjamin keesokan hari paling lama anak ibu akan kami temukan. Semudah itu. Tante runi percaya kepada polisi. Ia tak tau harus melapor pada siapa lagi, yang paling ia khawatirkan adalah bagas.
"Kalo perlu temukan devan, bawa mereka pulang bersama jika berhasil temukan keduanya..." Mohon tante runi kepada polisi.
Polisi itu mengangguk mantap. Fahri mengusap pundak runi, memberikan ketenangan, sudah saatnya menuju normal baru yang sama sekali tidak terkira akan seperti ini. Tindakan buruk bisa jadi awal yang indah serta berbeda.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Spontan in Love
Novela Juvenil"Kenapa kamu jatuh cinta pada wanita seperti aku? Punya fisik yang tidak cantik dan sesempurna wanita lainnya?" "Terkadang cinta yang sesungguhnya itu bukan dari dia sempurna tapi, bagaimana ia mengubahnya menjadi sempurna," Kehidupan Annisa sebelu...