Limapuluhtiga

90 3 0
                                    

Udara malam hari menembus melalui ventilasi yang disediakan. Gelap dan ramainya malam hari menambah kesan pemandangan yang indah untuk dilihat. Chacha berdiri didepan jendela kamarnya. Dengan tangan kanannya memegang sebuah ponsel bermaksud untuk memberitahu hal ini kepada bagas bahwa annisa sedang bertaruh nyawa. Tetapi bagaimana jika bagas dan devan saling curiga. Berusaha untuk membongkar ini semua dengan lamat-lamat. Tak bisa ku pungkiri betapa rumitnya hal ini.

Lantas hal ini tidak mengurungkan niat chacha untuk memberitahu Bagas akan hal ini walau melalui pesan singkat saja. Ia hanya memberitahu annisa sedang dirawat dirumah sakit blabla. Jempolnya menekan tanda pesawat terbang, seketika pesan itu terkirim dan belom mendapat respon apapun. Mungkin dia sedang membacanya lagipula ini pesan singkat bukan pesan chat. Tidak mudah untuk mengetahui apakah ia menerima? Membaca atau? Nomornya beda dengan yang didaftarkan?

Tapi tak apalah, sekarang chacha sudah agak mulai melupakan dan berusaha untuk bersikap normal. Tunggu annisa siuman mungkin ia akan habis oleh dua pria yang jatuh cinta padanya. Chacha harus mengubur dalam-dalam kisah cintanya dengan teman masa kecilnya yang kini sudah dimiliki oleh orang lain. Bahwa kenangan indah tak selalu bisa menghadirkan hal yang indah kedepannya.

Chacha menghela nafas kemudian memeriksa dibalik sebuah kardus terdapat kenangan masanya bersama teman masa kecilnya itu. Sudah saatnya dia tau, sudah saatnya dia harus ingat, sudah saatnya dia mengerti mengapa dirinya selalu menempel padanya. Tetapi pendekatannya selalu dianggap remeh olehnya, hal itulah yang membuat chacha hampir menyerah dan putus asa pada keadaan tetap tak kehabisan akal. Beragam jalan harus ia tempuh termasuk yang buruk sekalipun.

Dirinya tak mengerti mengapa bisa berubah sejahat ini? Setega ini? Apa mungkin rasa cemburu dan iriku mengubah segalanya menjadi lebih tidaj berarti? Aku bahkan hampir saja merenggut hidup seseorang. Tetapi mau sampai kapan hal ini akan aku pendam? Mau sampai kapan mereka akan mengikuti alurnya terus? Mau sampai kapan jika hanya diam dan saling berharap satu sama lain. Tuhan sudah menentukan jalannya hanya saja kita yang buta terhadap jalan yang telah diberikannya.

Mungkin malam ini adalah malam terberat bagi chacha dan semoga keesokan harinya ia masih bisa mendengar permintaan maaf dari mereka dan dirinya sendiri. Dengan saling memaafkan semua akan merasa lebih indah dan nyaman satu sama lain. Biarkan dia dengannya aku? Dengan diriku sendiri. Aku akan memberitahu semuanya bukan menghancurkan. Aku tak bisa terus menerus bersungut didepan tuhan dan berharap dia akan kembali ingat. Tidak! Jika kita tidak melakukannya sendiri. Ingatannya akan pulih jika akulah yang akan membantunya.

***

"Pernafasnya terhimpit ketika dia tenggelam dan juga memaksa kinerja otak untuk terus menggerakan kakinya" Jelas sang dokter menerangkan kepada devan. "tetapi..." Dokter itu mengambil foto ronsen persendian kaki. "Struktur tulang kakinya berangsur normal dan juga syaraf-syarafnya mulai berekasi sedikit" Katanya.

"Lalu dok?" Devan sama sekali tidak mengerti dan lebih suka kepada intinya saja.

"Ada kemungkinan dia bisa berjalan lagi" Kata sang dokter memberitahu. Tentu saja hal itu membuat devan bahagia bukan main bahkan ia menbungkam mulutnya sendiri saking terkejutnya. "Tetapi itu butuh waktu yang lama, harus ada terapi khusus dan sering-sering untuk belajar berjalan"

"Makasi dok"

"Jangan sungkan"

"Tapi sampai kapan dia akan sadar?" Tanya devan penasaran.

"Kemungkinan malam ini. Mungkin kau bisa tunggu besok saja" Dokter itu pamit kepada diriku. Aku sangat berterimakasih padanya karena telah memberikanku kabat sebahagia ini padanya. Hal ini harus aku beritahu pada ayahnya. Mungkin dia akan dua kali lipat lebih bahagia daripada diriku.

Devan berjalan cepat dan bersemangat untuk menyampaikan kabar segembira in. Devan membuka pintunya dan melihat dia sedang tertidur pulas tetapi posisi dan gesturnya bukan seperti orang tidur. Tidak ada hembusan nafas dan juga pergerakan perut keatas-kebawah layaknya orang bernafas. Juga alat pendeteksi jantung disebelahnya hanya menunjukkan garis lurus tanpa ada sedikit lonjakan. Devan langsung memanggil dokter, suster atau perawat yang sedang melewat dengan nada tinggi. Ia khawatir hal akan terjadi padanya.

Setelah diperiksa oleh dokter. Diagnosa dan keputusannya sungguh membuat devan terkejut bahkan menangis tak berdaya. Belom pernah saat ini devan menangis karena ditinggalkan oleh orang yang benar-benar ia sayang apalagi sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Kain putih menutupi wajahnya. Kini aku tak dapat melihatnya kembali seperti dahulu, aku tak bisa melihat senyumannya apalagi banyolan khas seorang ayah. Lalu bagaimana aku akan memberitahu ini pada annisa? Dia akan sedih dan apa mungkin saja aku menutupi ini? Ahh kurasa itu ide konyol, aku tak mau membuatnya kecewa mulai sekarang aku harus jujur apa adanya dan berani menyatakan kebenaran tanpa rasa takut atau bimbang sedikitpun.

"Aku akan bersamamu annisa"

***

Spontan in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang