Annisa terpaksa pergi kesekolah dikarenakan sang ayah memaksa. Awalnya annisa beralasan sakit tetapi sang ayah periksa dahinya dan tidak merasakan panas ataupun badannya tetap pada suhu yang normal. Annisa tak bisa membantah akhirnya ia pergi kesekolah dengan wajah yang begitu muram.
Pagi kali ini ia digendong oleh sang ayah. Betapa kerasnya perjuangan sang ayah untuk aku bisa mendapatkan pendidikan formal seperti anak normal lainnya. Maklum saja sekolah tak bisa memberikan fasilitas lebih untuk orang cacat sepertiku karena kebanyakan sekolahan orang-orang yang sempurna. Mungkin aku adalah murid satu-satunya yang berkursi roda.
Ketika sang ayah mengendongku. Annisa mendadak teringat pada devan yang dengan senang hati membiarkan punggungnya jadi tempelan untuk menopang tubuhku. Kini pria itu harus berdiam diri disebuah rumah sakit. Annisa merasa kasihan pada kekasihnya karena dia pernah berurusan sama kantor polisi dan juga langganan rumah sakit karena sering tawuran. Annisa menyempatkan sholat di sepertiga malam untuk berdoa kepada allah SWT. Agar devan selalu dijaga dimanapun. Karena annisa tau, devan adalah orang yang baik walau baiknya sama gue doang tapi semoga saja sangarnya meleleh menjadi bersahabat dengan yang lain.
Didalam kelas, aku terduduk sambil melamun entah apa yang aku pikirkan. Akalku kemana-mana dan tak berarah sedikitpun. Kelas ramai tetapi hatiku sepi. Bahkan teman sekelas tak mau menjadi sahabat curhatku. Tapi ada aja teman yang baik dan ramah padaku. Hanya saja tak ada sahabat seperti yang lainnya. Gosip, aku aja duduk sendirian:(
Aku melihat kearah jendela teringat akan devan yang datang kekelasku dengan mengintip dibalik jendela sambil menempelkan wajahnya yang membuatku tertawa. Tetapi itu adalah sebuah kenangan beberapa hari yang lalu. Kini aku sendirian tanpa devan yang menjadi teman sekaligus teman hidup.
Waktu berjalan cepat sekali hingga bel pulang berbunyi. Aku mendorong sendiri kursi roda menuju pintu. Aku sengaja keluar paling akhir agar tak merepotkan murid lainnya untuk lewat dan berjalan pulang. Aku berada dikoridor yang sepi. Menatap kebawah, orang-orang berjalan dengan santai, lari bahkan jongkok-diri. Sedangkan aku hanya duduk, duduk, dan duduk.
"Devan..." Lirihku tanpa sadar air mata menetes dari bawah kelopak mata. Isakanku mungkin bisa didenger oleh orang-orang yang masih belom pulang.
"Iya" Balasan itu membuat annisa terkejut dan ia melihat disamping dari kejauhan terdapat devan sedang berdiri menatap diriku. Mata annisa berkaca-kaca. Devan menghampiri annisa. Kemudian jongkok didepan hadapanku. "Ada apa? Kamu nangis? Ko nangis sih? Aku masuk ni" Devan menghapus air mata yang membasahi pipi annisa.
Devan masih mengenakan perban dikepalanya dan juga tangan kirinya masih dibaluti oleh kapas. Devan belom pulih seutuhnya. "Devan... Kamu kok masuk sekolah? Bukankah kamu masih belom sehat"
"Aku malas dirumah sakit mulu lagian udah lima hari entar kalo lebih dari lima hari auto bayar udah tau batas rawat inap bpjs kayak gitu sekarang"
Annisa memeluk devan karna saking terharunya. "Kenapa kamu ga bilang dari pagi aja kalo kamu bakalan masuk hari ini..." Kata annisa. "Aku kesepian tadi"
"Maafin aku. Tapi aku sengaja karena buat kamu terkejut alias surfries"
"Iyaih kaget banget liat kamu masuk tadi"
Annisa melepaskan pelukan, kami saling menatap tanpa bicara satu sama lain. Pandangan kami begitu bermakna. Hingga orang lain yang melihat langsung menyimpulkan bahwa inilah tatapan cinta sejati. Devan mendengar sebuah mesin mobil datang. Iapun melihat itu adalah mobil ayahnya annisa.
"Mau aku gendong sampai bawah?"
Annisa mengangguk haru.
"Udah atuh jangan nangis lagi ah, nanti bedaknya luntur" Canda devan.
"Ihh aku natural ga pake make up makeup kayak yang lain"
"Iya kamu itu cantik dan glowing tapi gak pernah sedikitpun perawatan aneh ya. Kamu itu manusia apa malaikat sih? Kok bersinar banget"
"Masih sakit juga sempet-sempetnya ngegombal"
Devan meletakkan tasnya didepan tubuhnya. Membelakangi annisa. Didepan mata ia melihat sebuah punggung yang lebar dan juga membidang. Annisa menempelkan tubuhnya diatas punggung devan, serta kedua tangannya menempel pada leher devan sebagai pegangan. Devan pun berusaha untuk berdiri dan membawa tubuh pacarnya itu. Serasa kenangan terulang kembali sesaat pertama kali devan mengendong tubuh annisa. Pria itu tak sama sekali merasa keberatan. Ataupun kelelahan yang ada dirinya masih sanggup berputar-putar kecil sampai annisa takut.
"Om kursinya masih diatas maaf devan gak sekalian bawa tadi"
"Oh oke"
Devan membuka pintu mobil kemudian meletakan diatas kursi mobil yang empuk. Annisa melepaskan tasnya dan iapun mengikat rambutnya yang terurai panjang sepinggang. "Hati-hati ya kamu dijalan" Kata annisa. "Aku takut kamu kenapa-kenapa nanti"
"Udah tenang saja devan selalu selamat dari kematian"
"Jangan gitu, kalo takdirnya gimana?"
"Ihhhh mitamit eh. Kamu ngomongnya bikin aku takut aja"
"Aku juga pernah selamat dari kematian namun aku harus rela kehilangan kakiku" kata annisa.
"Kok bisa?"
"Lain kali aja deh ceritanya soalnya ayahku udah sampe"
Devan melihat kebelakang, ayah annisa sudah ada dibelakang. "Oh kalo gitu nanti malam aku kerumahmu ya" Devan kemudian pergi dan menyalami ayah annisa sekalian ia menuju parkiran.
"Devan devan walau kamu lagi kurang pulih tapi sempet-sempetnya mikiran moodku disekolah kayak gimana?" Batin annisa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Spontan in Love
Novela Juvenil"Kenapa kamu jatuh cinta pada wanita seperti aku? Punya fisik yang tidak cantik dan sesempurna wanita lainnya?" "Terkadang cinta yang sesungguhnya itu bukan dari dia sempurna tapi, bagaimana ia mengubahnya menjadi sempurna," Kehidupan Annisa sebelu...