Duapuluh

166 7 0
                                    

Pagi-pagi sekali, devan pulang menuju rumahnya. Matanya masih berat namun ia paksakan karena beberapa jam lagi akan sekolah. Angin dini hari yang cukup menusuk kulitnya itu ia paksakan menembusnya. Suasana masih sangat sepi bahkan jalanan nampak hanya dirinya yang mengunakan. Tak ada kendaraan terlalu banyak. Nampak seluruh makhluk yang bernafas sedang merajut mimpi-mimpinya. Hingga adzan subuh menghentikan devan untuk berhenti sebentar ke masjid. Sudah lama sekali devan tidak solat. Karena mungkin pengaruh dari lingkungannya. Devan membuka sepatu dan juga kaus kakinya. Ia melangkah masuk mengambil wudhu. Air wudhu ia basuhkan pada wajahnya serasa ada cahaya yang menerangi wajahnya.

Tubuh devan menjadi lebih segar dengan air wudhu. Melaksakan solat subuh yang katanya pahalanya lebih daripada solat-solat lainnya. Karena memiliki keutamaan tersendiri apalagi dilaksanakan secara berjamaah. Tak heran jika jamaahnya sedikit bahkan bisa dihitung dari jari devan sendiri. Saat solat devan menjadi teringat percakapan dengan ayah annisa sewaktu ia sebelum pergi.

"Ma-maaf om, saya gak sengaja keti-duran" ucap devan ketakutan dan langsung berdiri didepan hadapan ayah annisa.

Ayah annisa tertawa kecil dan menepuk pundak devan saja. "santai aja saya tidak akan memukuli kamu. Saya sudah lihat ko kamu tidur memeluk anak saya"

Wajah devan semakin pias. Tekanan darahnya menaik. Banyak pikiran negatif muncul didalam otaknya. Jantungnya berdegup sangat kencang sekali bahkan bisa terdengar oleh devan sendiri. "Saya percaya sama kamu" ucap ayah annisa dengan tersenyum kearah devan. "Kamu tidak akan berbuat yang tidak-tidak pada anak saya. Saya titip annisa ya jika sewaktu-waktu, saya sudah tidak ada"

Devan mendongak kearah ayah annisa. "kok om bilang begitu?" Tanya devan penasaran.

"Sebenarnya om ini tidak sehat" Ayah annisa membalikan badannya. "Om pengidap kanker paru-paru stadium awal dan om mengetahui tadi siang setelah check-up ke dokter"

"Om masih disembuhkan demi annisa. Annisa itu lebih membutuhkan ayahnya daripada saya"

"Bukan aku atau kamu" Ayah annisa menghadap kembali kearah devan. Memegang kedua pundak pria didepan hadapannya. "Tapi kita berdua" Devan bisa melihat tatapan seorang ayah yang benar-benar ayah. Andai sosok ayahnya seperti ini mungkin ia akan menyanyanginya lebih. "sebentar lagi bulan Desember, dan annisa ulang tahun. Kamu bantu om ya buat siapin hadiah ulang tahunnya"

Devan bersujud. Membiarkan dahinya menyentuh sajadah. Membaca bacaan doa sujud sebanyak tiga kali. Rasanya seperti mencium kaki sang pencipta didepan hadapannya. Selesai menunaikan solat. Ia rasa sangat lega, Lega, lega seolah masalah Demi masalah terlupakan. Bahkan devan hampir saja menetes karena sudah lama tidak menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim.

Sudah lama sekali aku melupakanmu ya rabb. Ampunilah aku, juga ampunilah dosa kedua orang tuaku.

***

Suara burung melengking membelah langit dipagi hari yang indah. Cuaca pagi hari memang bagus, tidak panas begitu juga tidak dingin. Devan sudah menunggu dibawah pohon mangga. Menunggu kedatangan annisa seperti biasanya. Hingga ia ngantuk dan tertidur sejenak. Namun rasa ngantuknya pecah setelah ia mendengar klakson mobil.

Devan menatap kedepan. Itu mobil milik annisa. Devan kira wanita itu tidak akan sekolah karena sakit. Annisa diturunkan oleh supirnya, meletakkan diatas kursi roda karena dirinya ingin berbincang-bincang dengan devan untuk saat ini.

"Annisa papa duluan ya" ucap ayahnya didalam mobil. Annisa mengangguk. Iya. "Devan om duluan, jaga annisa baik-baik" Perintah ayahnya. Devan juga mengangguk. Iya. Mobil berwarna hitam itu melenggang pergi dari lingkungan sekolah.

"Aku kira kamu gaakan sekolah" ucap devan membuka topik obrolan.

"Aku sekolah kok, cuman masih sakit perut tapi sayang nanti ketinggalan pelajaran"

"Sayang terus sama pelajaran! Gak saya sama pacarnya" ucap devan pura-pura merajuk. Kemudian tertawa setelah itu.

"Apasih van. Sayang ko sayang"

Devan terkekeh. "Ehh tadi malam kamu gak dimarahin kan sama ayah aku? Kamu gak dipukulin kan sama dia?" Ucap annisa bernada khawatir.

"Engga ko malah dia baik sama aku. Juga katanya..." Devan hampir saja keceplosan soal percakapan pribadi dengan ayah annisa. Jangan sampai annisa tau.

"Juga apa?"

"Engga kok. Gak ada apa-apa cuman bilang gini om percaya sama kamu" ucap devan sambil meniru cara gaya bicara ayah annisa membuat wanita disampingnya tertawa.

Devan duduk lebih dekat dengan annisa. Menggenggam kedua tangannya. "Apapun yang terjadi aku akan bersama kamu. Karena kamu berlian yang tersembunyi buat aku"

Annisa menatap mata pria didepannya. "Kenapa Van? Ko bilangnya begitu?"

Devan melepaskan genggaman itu. "Engga ko engga apa-apa" Devan berjongkok. Memunggungi annisa didepan. "Ayo naik bentar lagi bel. Aku hari ini gamau kena hukuman lagi"

Annisa dengan senang hati menempatkan tubuhnya diatas punggung devan. "Ohiya nanti kursi rodanya gimana?" Tanya annisa.

Devan menatap disekitar. Terdapat bima yang baru saja keluar dari kelas sedang membuang sampah. "BIMA WOY?! BIMA SAKTI!" teriak devan. Bima menghampiri. "Tolong lo bawain kursi roda kekelas ibu negara cepet!"

"Huh gue kira apaan" Kesal bima. Melipat kursi roda. "Devan nanti pulang sekolah jangan lupa oke" bima mengingatkan janjinya pads devan.

Devan hanya mengacungkan jempolnya. "Ehh bim lu bawa kursi rodanya aja kekelas. Gue mau kekantin" Perintah devan. Bima langsung sergap membawa kursi roda kekelas Annisa.

Devan berjalan sedikit pelan menuju kantin sambil menggendong tubuh annisa yang tidak terlalu berat. "Kok kita kekantin?"

"Aku belom makan"

"Ihh bukannya di chat udah janji bawa bekel ya? Emangnya kamu ga sarapan dari rumah? Apa kamu lupa?"

"Astaga sayang kamu cerewet sekali. Aku tu dirumah suka telat, terus juga gaada yang siapin bekal. Lagian udah biasa setiap pagi aku makan dikantin"

"Besok-besok aku gamau kamu makan dikantin lagi. Bawa bekel aja makan sama aku, bareng"

"Yaudahiya sayang" Ucap devan. Annisa mencubit pipi devan. "Awww sakit"

"Abisnya aku gemez sama kamu. Ucapan aku gak pernah didengerin"

Sesampainya dikantin, devan memesan dua bungkus nasi uduk lalu ia memakan kedua nasi itu dengan lahap. Serta minum teh hangat berukuran besar karna ia hangus banget. Annisa tidak memesan apapun. Dia duduk berhadapan dengan devan.

"Santai aja kali makanya. Napas" Annisa tertawa melihat tingkah konyol devan, sang Dajjal disekolahan ini. "Aku rasa, cuman aku yang deket sama kamu"

Devan mendongak. Mengunyah makanan. Menelannya hingga ke tenggorokan. "Itu mereka takut sama aku"

"Takut apanya. Tadi aku cubit aja, aku ga takut kok sama kamu"

"Kamu itu beda sama orang lain"

"Beda apanya"

"Kamu itu kesayangan aku"

"Mulai deh nge-gombal, gak ngefly toh aku digombalin"

"Ihhh siapa juga yang nge-gombal lagian itu ucapan dari hati. Ucapan dari mulut saja akan berbeda sama ucapan dari hati"

***

Part terpanjang :*

Spontan in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang