Limapuluhlima

83 2 0
                                    

Pagi kembali hinggap dalam kehidupan yang terus berjalan. Tadi malam aku bermimpi melihat pria yang sedang berdiri ditengah ombak yang ganas tetapi dia hanya terdiam, bukannya takut dia malah tersenyum dan membiarkan dirinya terhanyut. Aku tak tau mengapa bisa kemimpi itu. Hampir saja aku menjerit keras tetapi, aku rasa tidak ada orang yang mendengar suara jeritan dari mulutku. Semuanya nampak biasa saja. Aku meminum, untuk melegakan tenggorokan. Sangat sepi. Tidak ada devan. Seperti biasanya bahkan buah yang ia berikan Belom ku sentuh. Karena aku lapar dan belom makan sama sekali. Terpaksalah aku memakan satu dua buah untuk mengganjal perut laparku. Mendadak sebuah panggilan berdering. Aku meraih ponsel yang ku taruh diatas nakas.

Panggilan dari seseorang yang tak kenal bahkan nomornya sama sekali tidak aku paham. Apakah ada sesuatu atau dia butuh bantuanku?

"Hallo?"

"Ini dengan annisa?" Lalu annisa menjawab iya. Terdengar suara gemetar dan Isak tangis dimana-mana. "Syukurlah, gue bisa hubungin lo. Plis nisa, cuman lo yang bisa bantu devan"

"Devan kenapa? Apa yang terjadi?"

"Sudah dev lo gaboleh gitu ini annisa" kata pria itu sepertinya sedang berbicara pada devan yang tengah menangis membuat annisa khawatir padanya. "Dia bilang sama lo untuk tetep semangat, dia bakalan pergi dia... Hmmm mungkin itu doang nis, sorry gue telpon lo mendadak"

"Ta-"

Belom annisa melanjutkan pertanyaannya, teleponnya diputus oleh orang tersebut bahkan tidak sama sekali memberi puas pada ketidakjelasan ini. Mengapa aku begitu khawatir pada devan? Apa devan menyerah? Apa dia selemah itu? Atau dia memiliki masalah lain? Aku hanya bisa berdoa tuhan yang maha esa semoga dia diberikan kesehatan juga tetap dilindungi yang maha kuasa.

***

"Dev!" Bentak Seseorang yang telah menyelamatkan satu nyawa yang hampir jatuh ditangan tuhan. "DEVAN!" Pria itu mencengkeram kedua pipinya devan agar ia sadar. "Lo gaboleh kayak gini?! Lo kuat!" Teriaknya. Kemudian devan menangis dengan keras tanpa henti, air matanya jatuh di tengah-tengah. "Menangislah, menangis sampai puas!" Dia rela memberikan pundaknya untuk devan agar ia bisa menumpahkan segala kesedihannya.

Dari kejauhan chacha melihat itu semua dia tengah bersama temannya yang kini sedang memeluk Devan. Dari mata memandang, bisa ia rasakan betapa frustasinya devan sampai ingin menghabisi nyawanya. Ini juga semua salahku, mengapa aku sejahat ini pada annisa. Jadinya tidak seperti ini. Sepertinya devan telah mengetahui segalanya, apakah ia tahu semua kebenaran yang telah ditutup rapat-rapat selama belasan tahun? Tak sadar chacha menitikan air matanya. Tak bisa mendekat pada devan, iapun berbalik haluan dan berdiam diri didalam mobil.

Setelah menangis kencang, ia pun membawa Devan kesebuah klinik atau villa untuknya istirahat. Tubuh basahnya perlu dikeringkan sebentar. Devan mengikuti arahan dari orang yang baru ia kenal. Nampak putus asa tanpa tujuan yang tak tahu akan seperti apa jadinya.

***

Lamunan yang dibuat oleh annisa mendadak pecah seketika oleh langkahan kaki bagas yang tergesa-gesa dengan nafas yang tersengal. Wajahnya seperti ingin memberitahu sesuatu namun tertahan oleh ketidakmampuan. Annisa ingin tahu dan pikirnya menjadi sangat penasaran tetapi bagas bungkam satu hurufpun.

"Mari kita jalan-jalan sebentar" Katanya. Aku tak mengerti mengapa dengan raut wajah secemas dan sekhawatir itu dia mengajakku untuk berjalan-jalan. Akupun mengikuti perkataannya dan duduk diatas kursi roda. Kurasa jari jemari kakiku bisa digerakkan ini suatu awal yang bagus tetapi aku harus belajar beberapa hari agar bisa berjalan seperti orang normal.

"Kita mau kemana?" Tanyaku. Tetapi pertanyaannya sama sekali tidak dijawab olehnya. Aku hanya terdiam, dan melihat sekeliling. Hingga pemadangan yang sama sekali tak ku inginkan muncul didepan mata ini. Beberapa perawat dan dokter mondar-mandir dari satu ruangan yang nampak tak asing. Bisa dilihat raut wajah salah satu perawat menunjukkan rasa cemas dan juga takut. Setelah kesadarannya pulih, aku kembali ingat bahwa ini adalah ruangan sang ayah.

"Kenapa kita berhenti, aku mau liat ay..." Ujar annisa terpotong melihat jasa orang yang ia sayangi terbujur kaku, serta tertutup seluruh tubuh oleh kain putih. Tubuhku mendadak terjatuh karena hampir menyentuh jasad seseorang yang begitu heroik bagiku selama ini. Bagas memelukku dari belakang.

"Menangislah, menangis sesukamu" Kata Bagas. Ia siap memberikan sandaran pundak untuk ditumpahkan berbagai macam kesedihan. Ia bisa begitu merasakan kesedihan yang luar biasa. Matanya yang sembap ia melihat kereta dorong itu perlahan-lahan menjauh seolah tidak peduli.

***

Bagas melempar tubuhnya keatas sofa karena sudah menemani annisa seharian, kasian wanita itu ia nampak begitu kehilangan sekali sosok yang begitu berjasa baginya, ia bisa merasakan hal itu. Ketika dokter menyuntikkan obat bius ketangan annisa membuat Bagas sedikit tak tega melihatnya. Harusnya ia menemani dirinya lalu kemana pacarnya? Kenapa akhir-akhir ini dirinya selalu gerak aktif pada keduanya? Ah sudahlah, aku tak memikirkannya. Ku nyalakan ponsel genggam dan banyak riwayat panggilan dari chacha. Akupun menelpon balik, tetap tidak diangkat.

Dirumah juga sang ibu belom pulang. Merasa khawatir karena sudah jam delapan malam lewat belom pulang kerumah, sebenarnya ada apa dengan ibuku? Mengapa dia selalu pulang telat bahkan tidak pulang seharian seperti tidak sayang rumah. Ku lacak ponselnya dengan melalui google maps. Bagas tau ponsel ibunya selalu mengaktifkan fitur GPS dan juga mode cari perangkat. Namun yang ditemukan bagas bukanlah alamat kantor yang biasa Bagas kunjungi tau.

Karena rasa penasarannya, Bagas segera bergegas untuk menuju alamat tersebut. Ia menaruh ponselnya disalah satu tempat. Ia tempelkan pada sebuah penjepit ponsel agar tak jatuh. Penjepit itu letaknya menutupi monitor kecepatan kendaraannya. Sambil mengecek GPS, ia tancap gas mengikuti navigasi yang muncul dilayar ponselnya. Sampai ia pada batas akhir navigasi tersebut. Sebuah rumah dengan desain yang cukup bagus dan sederhana.

Bagas turun dari motornya, ia melihat tulisan bercorak yang ditempelkan digapura gerbang rumahnya. Jl. Cempaka No 127.

"Bagas gue tau dimana alamat rumah devan?"

"Dimana?"

"Jalan cempaka No 127..."

Ini tidak mungkin! Mungkin saja sistem navigasinya error atau ngebug. Masa iya ibuku ada dirumah musuhku. Bagas memang orangnya penasaran banget, dia nekat masuk kedalam halaman rumah tersebut. Nampak sepi, tak ada sama sekali pergerakan kehidupan apapun layaknya rumah hantu. Langkah kakinya semakin dekat menuju pintu depan, bagas mengetuk pintu tersebut lalu keluarlah seorang pria paruh baya sambil menatap heran padaku.

"Mau cari siapa?" Tanya fahri.

"Saya sedang mencari ibu saya ada?"

"Ibu kamu?" Bagas mengangguk. "Sebut nama"

"Namanya runi"

"K-kamu benar anaknya?"

"Iya om"

"Yasudah bentar"

Tak lama menunggu, bagas melihat dari kejauhan ibunya berdiri tertegun menatap Bagas dengan penuh ketakutan. Bagas tak mempercayai apa yang ia lihat. Iapun melenggang pergi dan berlari cepat. Ini bukan salah navigator, ini juga bukan salah runi, ini adalah salah gua, gue melihat hal yang begitu membuatku kesal.

"BAGAS!"

***

Spontan in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang