.
.
Hujan di luar sepertinya membuat seseorang yang berada di rumah ikut-ikutan mengeluarkan air melalui mata, bayangkan saja dia menangis hanya karena melihat satu benda yang garisnya ada dua.
"Coba, ceritanya pelan-pelan, jangan sambil menangis gitu ah," ucap temannya di sambungan telpon, lelah juga mendengar Sakura menangis tanpa sebab begini.
"Garisnya dua Ino,"
"Kau hamil? Hei, itu kabar bagus, kenapa kau malah seperti mau mati besok?" Sakura menggelengkan kepala sekali lagi, memikirkan hal-hal sulit, tentang kenyataan bahwa Sasuke tak pernah sekali pun membahas tentang keturunan, tak pernah berangan-angan, Sasuke baru memulai karir, dia pasti tak menginginkan tentang ini, memiliki seorang bayi kan butuh uang yang banyak, butuh persiapan yang tak murah, Sakura tau itu, makanya dia sedih, apa ini akan menambah beban suaminya?
"Tapi....."
"Sasuke pasti akan senang, aku yakin," Sakura menghela napas sambil menatap keenam belas tes pack yang berhamburan di lantai, dan sial semuanya bergaris dua.
"Yasudah, aku mau masak dulu, bye Ino..." Sakura mematikan sambungan telpon itu dengan perasaan yang aneh, hujan pun sudah sepenuhnya berhenti, dia berjalan menuju dapur, tadi pagi Sasuke sudah meminta sayur lobak beserta salad lalu jus jeruk juga, dia itu kenapa jadi banyak maunya begini sih?
"Ah, bagaimana ya?" Sakura menatap langit-langit berharap mendapat sebuah jawaban tapi nihil, dia malah jadi melihat foto pernikahannya yang tak begitu besar menempel di dinding, sebuah awal yang dia sukai, dia berhenti memotong lobak dan mendekati foto-foto yang susah payah ia tempel sendiri walaupun akhirnya lelaki itu membantu juga sedikit, Sasuke sih ingin temboknya polos-polos saja, tapi tentu saja Sakura tak setuju, kan mereka harus melihat dan mengingat tentang hari yang bahagia itu, supaya tak lupa kalau menikah itu menyenangkan.
"Kau tampan sekali," dan sesuai rencana, setiap Sakura melihat foto-foto itu tanpa sengaja otaknya yang masih sama seperti dulu terus mengingat setiap sudut dan detail di hari bahagia itu, saat Sasuke mengucapkan janji, saat mereka berdua berciuman di depan keluarga, Sakura ingat wajah ayahnya merah sekali, dia sepertinya marah deh bukan terharu.
***
"Kami kesini untuk memperbesar tali keluarga?" ucap Itachi gugup, tampak berpikir bahwa ucapannya aneh atau tidak, sementara Jiraiya yang sengaja mengosongkan jadwal tampak sedikit cemas, dia tau hari ini akan tiba, tapi tidak secepat ini juga, beberapa hari yang lalu Sakura memang pernah mengucapkan tentang rencana ini, tapi sialnya dia dan Tsunade menganggap ucapan anaknya itu sebagai lelucon, tapi kalau sampai membawa kakaknya begini sih, ini bukan bercanda, ini pasti serius.
"Maksudnya?" jawab Tsunade peka lebih cepat, Itachi tersenyum kikuk hendak menggaruk kepala tapi tidak jadi.
"Biar aku saja kak," Itachi menghela napas, kenapa jadi dia jadi canggung sih?
"Saya mau menikahi Sakura, kurasa kami tidak ingin terpisah lagi ...atau lebih tepatnya saya, maaf, saya tau ini egois, tapi saya harap ayah dan ibu mau memberi saya kesempatan menggantikan kalian untuk menjaga Sakura," ruangan itu mendadak hening, banyak otak yang bekerja di sana jadi mulut mereka diam, Sakura pun diam, ini suasana yang sedikit menyedihkan.
"Tapi Sasuke ....ini terlalu cepat," akhirnya Tsunade menyumbangkan suara, membuat keadaan jadi lebih dingin.
"Cepat atau lambat, Sakura akan pergi 'kan sayang?" Tsunade menunduk menatap kakinya yang telanjang tanpa memakai sandal, dia terlalu terkejut sampai tadi lupa memakai benda itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
So Long!
Fanfiction"Tahun ini ayah tidak akan mengirim satu anak khusus untuk mengajariku kan? Aku ingatkan mulai sekarang, itu tak akan berhasil," © Mashashi Kishimoto