.
.
Jiraiya yang akhir-akhir ini menjadi sangat sibuk tiba-tiba saja kesal saat mendengar suara tawa Sakura menggelegar di ruang kesehatan, bisa-bisanya suara itu sampai ke kantor pribadinya di lantai dua, dan hei kenapa dia malah ada di bawah? Seharusnya kan dia harus ada di kelas, sejenak Jiraiya beranjak, meninggalkan setumpuk kertas yang entah kenapa sulit sekali tipisnya."Aku senang sekali deh Ino, aku bahkan tak pernah berharap Sasuke akan memasang fotoku, untung fotonya yang cantik," Jiraiya hanya menatap mereka dari tangga lalu kembali lagi ke ruangannya tanpa mengucapkan satu patah kata pun, asalnya dia akan memarahi anak semata wayangnya itu untuk kembali ke kelas, tapi tiba-tiba saja senyum Tsunade datang menghampiri, menahan mulutnya untuk tak mengeluarkan suara, membiarkan Sakura tersenyum bersama teman-temannya...
Hal yang seperti ini dulu sekali Tsunade pernah membahasnya, jauh sebelum sosok Sakura memiliki rambut merah muda, jauh sebelum lengan Sakura terbentuk dengan sempurna.
'Lihat, itu lengannya, itu mulutnya, nanti dia akan menjadi anak perempuan yang baik, yang selalu tersenyum kepada teman-temannya,'
Dan itu benar, semua yang Tsunade harapkan terjadi, kini mata Jiraiya menatap penuh perasaan pada foto bayi yang sedang tersenyum sambil menggigit mainan bebek si teman mandinya, memori enam belas tahun yang lalu entah mengapa terputar begitu saja.
****
Dulu, mereka berdua menikah dalam usia yang tidak bisa di bilang muda, Jiraiya berumur tiga puluh dua sementara Tsunade satu tahun lebih muda darinya, awalnya pernikahan itu berjalan mulus-mulus saja sampai Tsunade sadar bahwa kehadiran sosok buah hati sangat di perlukan, waktu terus berjalan sementara Tsunade tak di beri kesempatan, harapan itu seolah sirna saat dokter bilang ada gangguan dalam rahimnya, sehingga akan sulit sekali untuk mereka berdua mendapatkan seorang anak.
"Sudah malam sayang, ayo tidur," Tsunade menggeleng, masih menatap langit di dekat jendela, masih memasang wajah murung, sosok semangat, pemberani, dan kuat sudah sepenuhnya hilang, Tsunade si ahli karate itu hanyalah kenangan, bahkan untuk menggerakkan badan pun dia merasa tak bisa.
"Nanti kau sakit,"
"Bukankah lebih baik begitu? Aku ini tak berguna," jawabnya tanpa emosi berlebih, air mata bahkan sudah terasa sangat kering untuk sekadar menangisi keadaan, yang dia bisa lakukan saat ini adalah diam dan diam.
"Yasudah, aku temani,"
"Kau tidur saja, kalau kau 'kan masih bisa menghasilkan sesuatu, sementara aku... Tidak," Jiraiya menggeleng, tersenyum lebar sekali sambil menutup jendela, angin malam tak bagus untuk kesehatan mereka berdua.
"Aku mencintaimu dalam senang dan sedih, dalam sehat dan sakit," ucap Jiraiya mengucapkan janji saat mereka menikah tiga tahun yang lalu.
"Kalau kau tak bisa menghasilkan sesuatu berarti aku pun tak bisa," Tsunade menatapnya sedih, ingin sekali marah karena Jiraiya terus saja berada di sampingnya bahkan di saat dia merasa tak berguna, mengapa? Dia sukses, bisa memilih wanita mana saja, yang bisa membuat sepuluh anak atau lebih, bukan dengan dia.
"Tapi, kau butuh dia..."
"Aku lebih membutuhkanmu," Jiraiya tertawa saat melihat wajah Tsunade yang murung, dulu tatapan wanita ini begitu ganas, pandai berkelahi, sampai Jiraiya takut.
![](https://img.wattpad.com/cover/194013181-288-k68651.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
So Long!
Fanfiction"Tahun ini ayah tidak akan mengirim satu anak khusus untuk mengajariku kan? Aku ingatkan mulai sekarang, itu tak akan berhasil," © Mashashi Kishimoto