✨ firefly | 03

52.5K 6.2K 849
                                        

Setelah berpikir cukup lama, jadwal up Firefly, kak Fi putuskan sama dengan jadwal Polar Bear yg dulu. Yaitu, malam Sabtu atau malam Minggu. Jadi buat yang tanya dari kemarin, dicatet baek-baek, ya 😉

“Cinta itu buta, makanya dia enggak tahu akan jatuh di mana. Dan semoga aja, walau aku enggak tahu akan berakhir seperti apa, cinta di hati aku enggak jatuh di tempat yang salah.”

— Nada

Di pagi pukul enam, di dalam sebuah ruangan segi empat, Aresh yang tubuhnya dibalut kaus putih dan jaket jeans, terduduk di kursi samping brankar di mana seseorang tengah berbaring lemah di atas sana.

Dalam bisu, telinganya mengamati bagaimana bunyi alat kardiograf mengisi ruangan, sementara matanya menatap sendu pada wajah yang sudah satu tahun lebih empat bulan ini terus menutup mata.

"Assalamu'alaikum, Yah. Aresh datang."

Hening adalah balasan yang tertangkap telinga Aresh. Ini sudah menjadi hal yang biasa baginya. Namun, meski sudah terbiasa, harapan dan doa jika suatu hari ayahnya akan membuka mata dan membalas sapaannya tak pernah pupus ia panjatkan.

Dengan hati-hati, Aresh meraih tangan sang ayah yang terbebas dari infus, lalu mengusapnya lembut. Dalam waktu setengah jam, ia hanya begitu, sampai tubuhnya pun bangkit, mengingat dirinya harus ke sekolah untuk melaksanakan acara pertandingan basket yang akan dilangsungkan beberapa jam ke depan.

"Ayah, Aresh ke sekolah dulu. Nanti pulangnya ke sini lagi."

Aresh lalu menyalami sang ayah, sebelum keluar dari ruangan, dan menunduk menatap sepatu sport merah yang melekat apik di kedua tungkai berlapis celana training abunya.

Namun begitu kepalanya menengadah, maniknya menjumpai sosok perempuan yang sudah tak asing di matanya, yang tengah menatap dirinya dengan senyuman, juga dengusan di beberapa detik kemudian.

Perempuan itu maju, mengulurkan sejumlah uang, dan berkata, "uang saku lo ketinggalan."

Aresh menerima dan menyakukannya di celana. Sementara si perempuan tadi geleng-geleng kepala, lalu mengacak kepala laki-laki itu dengan gemas. "Kebiasaan."

Tidak terima rambutnya berantakan, Aresh berdecak, lalu melintir tangan perempuan itu dengan tanpa belas kasihan, dan pergi begitu saja, hingga membuat perempuan itu menahan lara dengan mengentak-entakkan kaki ke lantai rumah sakit.

"Itu orang apa setan, sih?" maki perempuan itu sambil memijat tangannya yang mendadak pegal.

Aresh sendiri memilih menulikan pendengaran, dan bergegas menuju tempat di mana motornya tengah diparkirkan.

Memakai helm full-face hitam setelah menaiki motor besarnya, Aresh langsung menancapkan gas menuju sekolah, yang tidak jauh dari bangunan bernamakan rumah sakit itu.

Begitu roda berhasil menginjak pelataran sekolah, ia segera memarkirkan motor itu di jejeran motor-motor milik para murid. Turun dan menyugar rambutnya ke belakang, Aresh lalu berbalik, memasuki bangunan di depan sana.

Namun, langkahnya sedikit tersendat, begitu maniknya menangkap figur seorang gadis yang selalu membuat darahnya mendidih, dengan seorang laki-laki dengan tubuh berbalut jas hitam rapi berumur 20 tahunan, di depan gapura bertuliskan SMA GUSTAV.

Tak peduli dengan apa yang tengah mereka perbincangkan, Aresh pun kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda beberapa detik.

Di waktu yang sama, Nada yang tengah berdiri di samping badan mobil, mengulurkan tangan menyalami sang kakak.

Firefly • completedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang