✨ firefly | 25

41.7K 5.8K 1K
                                    

H A P P Y
R E A D I N G! 🥳

“Untuk menghapus nama orang yang sebelumnya pernah singgah di hati, memang perlu waktu yang enggak sedikit. Kecuali, kalau orang itu mau memberi izin nama lain untuk menempati.”

— Aresh

Nada tidak tahu apakah ada yang salah darinya hari ini, atau itu hanya sebatas pikirannya saja.

Pasalnya, sedari tadi, Aresh selalu  menatapinya seolah ia akan menghilang jika saja laki-laki itu berkedip barang sedetik saja.

Penasaran, Nada pun berbalik menatap, menajamkan pandangan, sambil mengerutkan kening. Namun yang ditatap, justru memiringkan kepala, menopangnya dengan tangan kiri, meski tak ada ekspresi lain yang ditunjukkan selain datar.

Nada ingin sekali melontarkan kata, namun setelah ia pikir beberapa kali, ini bukanlah waktu yang tepat untuk bertanya.

Karena, tidak mungkin, kan, ia tiba-tiba saja menyela hal tidak penting di tengah jalannya rapat, di mana ada Tifa yang tengah mengeluarkan pendapat? Bukannya tenang, bisa-bisa ia disangka aneh, atau mungkin saja dikira tak menghargai orang lain karena lancang berbicara.

"Tapi, apa yang dikata Tifa ada benernya juga, sih, menurut gue. Pihak perkemahan memang menyediakan tenda yang udah dibangun, tapi kalau kita memanfaatkan fasilitas itu, kegiatan ini jatuhnya malah jadi kurang menyatu sama alam." Fika membuka suara, menyetujui perkataan Tifa yang menyatakan ketidaksetujuannya akan masalah tenda siap pakai.

"Padahal, tujuan diadakannya acara ini kan supaya kita bisa refreshing tanpa lupa menyatukan diri dengan alam. Nanti kesannya malah melenceng dari tujuan kalau tendanya sendiri udah dibikin dari pihak perkemahannya," imbuh Pras yang juga turut mengeluarkan pendapatnya.

"Gue juga mikir gitu waktu pihak sananya nyebutin fasilitas-fasilitas yang ada." Doni tak kalah mengajukan, apa yang selama ini tersimpan apik di benak.

"Gue sih, ngikut mana suara yang lebih banyak. Kalau lo, Resh?" Brian mengalihkan pertanyaan pada Aresh, yang masih dalam posisi menatap Nada lamat-lamat.

"Resh?" ulang Brian, mencoba menyadarkan laki-laki itu, namun sepertinya, usahanya itu tidak berpengaruh sama sekali.

Dan begitu Nada membalas kembali tatapan itu, Aresh langsung menoleh pada semua mata, lalu berkata, "gue juga sama, ngikut suara terbanyak, biar adil."

"Oke, kalau gitu kita voting aja. Di sini, siapa aja yang setuju dengan pendapat Tifa tadi?" Brian mulai membuka pemungutan suara.

Setelah dihitung benar-benar, jumlah total yang mengangkat jari telunjuk ada 12 orang, termasuk tujuh di antaranya adalah anggota OSIS inti.

Aresh mengangguk-angguk, sembari matanya menghitung jumlah orang yang tidak setuju. "Berarti yang setuju tendanya siap pakai cuman lima orang. Dua belas banding lima. Udah jelas keputusannya, bahwa tenda-tenda itu nantinya dipasang sendiri berdasarkan tiap kelompok. Yang lima orang, bisa kalian terima keputusan ini?"

Lima orang tadi saling mengangguk, dan salah satu dari mereka berucap, "bisa banget, Resh. Lagipula, kalau bangun tenda sendiri, pasti kemahnya lebih terasa."

"Oke. Udah diputuskan." Tatapan Aresh berlabuh pada Dita, yang rupanya juga tengah menatapnya. "Lo hubungi pihak perkemahannya, suruh mereka buat bangun posko kesehatan aja, sementara tendanya, cukup disiapin, dan enggak perlu dibangun."

Firefly • completedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang