Suasana jalan raya sangat ramai sepagi ini, bahkan di trotoar pun para pejalan kaki tampak turut meramaikan jalan, entahlah hari ini penduduk begitu senang memadati jalanan.Ruth yang terpaksa melewati hirup pikuknya jalan itu mengutuk diri karena bisa-bisanya berangkat ke sekolah tidak diantar.
Ia tidak punya pilihan, semalam ia mendengar ayah berbicara di telpon dan meminta Nicole untuk mengantar bahkan menemaninya ke sekolah.
Tentu saja gadis itu tidak akan mau, karena itu ia memilih untuk berangkat sendiri.
Oh jangan mengharapkan Pak Bobo akan mengantarnya, karena jika ayah sudah meminta Nik untuk melakukannya, ayah tidak akan menyuruh supir pribadi itu lagi.
Ruth juga tidak peduli bagaimana reaksi orang rumah saat tahu dirinya sudah kabur begini ke sekolah sendiri.
Kini gadis itu telah tiba di halte bus, menduduki diri disana menunggu bus selanjutnya yang tujuannya ke sekolah.
Ia mengipasi tubuhnya yang peluh, matahari sudah memanasi bumi sejak tadi, biasanya tak pernah sepagi ini.
Ada beberapa orang yang juga sedang menunggu bus disana, sekitar empat laki-laki dan dua perempuan.
Ruth bersumpah akan menendang wajah laki-laki yang terus memandangnya dengan tatapan mesum itu, untungnya jalanan ramai sehingga ia tidak harus mengeluarkan tenaga jika mereka berani mengganggunya.
Bus yang dinantikan pun tiba, dengan segera gadis itu menaikinya sambil menutup rapat roknya agar tidak terlalu menampakkan kaki atasnya yang jenjang.
Ia mengambil posisi di dekat jendela, sedangkan kursi di sampingnya itu kosong, saat itu juga ada seorang pria yang mungkin berusia 50 tahunan, menatapnya dengan pandangan yang tak bisa dibaca.
Ruth meneguk liur panik saat melihat pria itu melangkah mendekatinya seakan berniat duduk di sampingnya mengisi kursi yang kosong itu.
Namun saat pria itu hendak duduk tiba-tiba sebuah ransel hitam diletakkan begitu saja.
Pria mesum itu menoleh bersamaan dengan Ruth yang juga menoleh pada pemilik tas itu, seorang cowok tinggi yang saat itu memegang pegangan bus.
Wajahnya tidak terlihat karena masker menutupinya, serta jaket abu yang bertopi menutup kepalanya, ia tidak membalas tatapan Ruth dan pria tua tadi.
Melihat hal itu, Ruth pun berkata dengan berani, “ Maaf, kursinya udah diisi”
Pria mesum tadi tampak menghembuskan nafas kesal, lalu melangkah ke belakang sana untuk mencari kursi kosong lainnya.
Gadis itu tertawa lega karena sudah terhindar dari gangguannya, ia kembali menatap cowok tinggi yang berdiri di samping kursi kosongnya itu.
“Thanks ya, lo boleh duduk” ujar gadis itu tersenyum lebar.
Namun orang yang diajaknya bicara sama sekali tidak menggubrisnya, ia bahkan memalingkan wajah menghindari gadis itu.
“Udah duduk aja gak usah malu-malu, lo gak capek apa berdiri gitu” komentarnya lagi.
Sepertinya cowok itu memang tidak ada niat untuk mengobrol dengannya, ia hanya asik memandang ke depan tanpa menoleh sedikitpun.
Ruth berusaha mencari-cari matanya, karena dari tadi perasaannya mengatakan rasanya ia pernah bertemu cowok ini, entah dimana.
“Gak usah geer deh, gue juga udah punya pacar kok” tutur Ruth basa-basi.
Lalu menyerah untuk mengajak cowok itu duduk, ia pun menyandarkan kepalanya ke kaca bus, memandang aspal di bawah dan di depannya sana dengan lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARES
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Ares. Preman kampus. Dingin, sedingin musim salju di Antartika. Skeptis dan kasar, tidak peduli pada siapapun. Ruth. Anak SMA. Cerah, secerah musim panas di Jepang. Hiperaktif dan konyol, naksir berat dengan Ares. Ini tenta...