Bel berbunyi. Ujian sudah di depan mata. Tidak ada waktu untuk kembali pada malam yang suram dan menceritakan bagaimana rasa sakit oleh luka yang Ares torehkan kepada Ruth.
Meski hal itu benar-benar mempengaruhi keadaan gadis delapan belas tahun itu saat ini, dan tentu saja tidak dapat dipungkiri hal itu sangat mengubahnya.
Sejak malam saat Ares pergi begitu saja meninggalkannya, Ruth kembali hanya dengan membawa sisa jiwanya, sebagian jiwanya telah pergi bersama Ares yang tega-teganya mencampakkannya begitu saja.
Tak ada lagi semangat, tak ada lagi senyum lebar, tak ada lagi bicara cepat, tak ada lagi suara cempreng yang biasa ia lakukan.
Semuanya seakan sirna malam itu juga, karena semua itu ada berkat Ares. Hanya karena dia.
Selama tiga hari hingga hari pertama mereka ujian nasional saat ini, gadis itu hanya menghabiskan waktunya di kamar, mengurung dirinya disana seharian, tidak melakukan apa-apa kecuali terus meratapi apa kesalahannya sehingga Ares berubah demikian.
Jika saja bukan ujian akhir, ia mungkin tidak akan sudi melakukan aktivitas ke sekolah seperti ini.
Sayangnya ini adalah momen terpenting pendidikan, jadi mau tidak mau gadis itu harus mengikutinya, meski tadi juga sempat dipaksa keluar kamar oleh bunda.
Mila benar-benar merasa pusing menyaksikan keadaan sobatnya itu saat ini, penampilannya amburadul.
Tubuhnya mengurus walau hanya beberapa hari seperti tidak pernah makan, wajahnya yang biasanya merona penuh skincare terlihat pucat, rambutnya yang kusut dan lepek seperti tidak pernah keramas dicepol sembarangan, dan pandangan matanya kosong.
"Jeng" panggil Mila padanya.
Sesaat setelah bel berbunyi, keduanya tampak melangkah menuju kursi dibawah pohon Oak besar, tempat bersantai favorit di area sekolah.
Ruth tidak menyahut, ia hanya ikut mendudukkan diri dalam diam di samping Mila sambil meletakkan tasnya sembarang di bawah kursi itu.
Pandangannya kosong ke depan, tak peduli suasana halaman sekolah yang sedang ramai saat itu, mungkin karena hari pertama ujian sudah selesai maka banyak siswa yang enggan cepat pulang ke rumah dan masih bersantai-santai disana.
Mila menghela nafas panjang, seakan merasakan kepedihan yang sobatnya itu rasakan.
Awalnya Ruth tidak ingin bicara dengan siapapun waktu itu, bahkan pintu kamarnya pun dikunci terus menerus sehingga orang rumah tidak bisa masuk.
Bunda pun meminta Mila untuk menemuinya dan Ruth pun akhirnya menceritakan kejadian malam itu, malam saat Ares minta putus.
"Ajeng lo dengar gue gak sih?" ujar Mila lagi menggerakkan tangannya.
"Iya dengar" jawabnya lelah.
Matanya mungkin sudah tidak bengkak lagi, karena dua malam berturut-turut ia hanya menghabiskan harinya untuk menangis.
"Udah lah gak usah dipikirin terus, ngapain juga lo ngabisin waktu buat mikirin si brengsek yang gak punya hati itu? Lupain aja, lo bisa cari yang baru, masih banyak yang ngantri buat jadi..."
"Mil stop. Percuma lo kasi petuah terus-menerus, gak akan ada yang bisa gantiin Ares" potong Ruth lirih.
"Makanya move on Ajeng, move onnnn" tekan Mila sebal.
"Gue gak akan bisa move on Mila, lo ngerti gak sih?" balas Ruth jengkel.
"Jeng, kalo gini terus caranya lo gak bakal bisa nikmatin hidup. Lo coba aja terus buat moving on, perlahan-lahan juga lo bakal terbiasa dengan gak adanya Ares"
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARES
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Ares. Preman kampus. Dingin, sedingin musim salju di Antartika. Skeptis dan kasar, tidak peduli pada siapapun. Ruth. Anak SMA. Cerah, secerah musim panas di Jepang. Hiperaktif dan konyol, naksir berat dengan Ares. Ini tenta...