Sore itu, Ares menikmati kesendiriannya ditemani secangkir kopi hitam panas yang ia beli dari coffee shop terdekat, dan membawanya kesini, di tepian sungai kota.
Anggap sajalah sungai, karena waduk ini sangat luas dan tidak masalah jika disebut sungai.
Lagi pula Ares sangat menyukai tempat ini, tempat yang hening dan tenang, tempat yang bisa membuat hatinya kembali teduh.
Ia selalu kesini jika sedang banyak pikiran atau sekedar ingin membuang stress, dan untuk yang pertama kalinya waktu itu ia membawa Ruth ke tempat ini.
Ares menyesap kopi pahitnya sambil memandang air yant tenang dan diam itu, meletakkan kembali kopinya lalu bersandar di tubuh pohon besar yang tumbuh menghiasi tempat itu.
Ia menghela nafas, kembali teringat ucapan Tante Kim tentang pertunangan itu.
Jadi, ayahnya menjodohkan Ruth dan Nik hanya karena bisnis?
Ares mendengus sinis, ternyata ayah masih tidak berubah.
"Kirain ada apa, ya bisa karna ayahnya terus mendesak buat ngejodohin Nik sama Ruth"
Tidak, bukan ayah yang salah. Ini adalah kemauan orang tua Ruth.
Ares meredakan kembali emosinya mengingat bukan ayah yang memaksakan hal itu, melainkan ayah Ruth sendiri.
Ia tidak habis pikir, dimana hati seorang ayah yang tega memaksakan anaknya untuk bertunangan dengan orang lain.
Ares jadi berpikir, siapapun yang akan bertunangan dengan Ruth bisa siapa saja, baik dirinya maupun Nicole karena toh mereka juga saudara dan jika salah satu dari mereka menjadi tunangan Ruth, bisnis akan tetap jalan.
Namun masalahnya adalah orang tua Ruth lebih mendambakan seorang yang cerdas dan berwatak dermawan seperti Nik ketimbang ingin bersimpati dengan lelaki yang kasar dan tidak punya perasaan seperti Ares.
Semuanya membuat kepala Ares semakin pening, membuatnya harus menenangkan kepeningannya itu dengan beberapa asap kesukaannya.
Ares pun merogoh sakunya, mengambil sebungkus rokok dari sana yang sempat ia beli tadi sebelum bersantai disini. Ia tidak memikirkan larangan Ruth yang biasanya, toh ia juga sangat butuh rokok saat ini.
Entahlah, tapi Ares memang merasa memiliki keterikatan dengan rokok jika tidak ada gadis itu, maka jika tiada Ruth di sampingnya, rokoklah penggantinya.
"Disini rupanya" sebuah suara menegurnya dari samping.
Ares menoleh dan mendapati tubuh bongsor Nik disana, ia ikut mendudukkan diri dan memandang jauh ke depan, ke air yang tenang.
Ia sedikit tertegun karena Nik yang tiba-tiba muncul disini, padahal anak itu belum terlalu hafal tempat-tempat bagus di Indonesia, tapi ya sudahlah, Ares tidak akan memusingkan hal itu.
Ares hanya mendengus kecil lalu kembali memandang ke depan sambil menikmati rokoknya, membuat asap-asap kecil mengepul sempurna di depan wajahnya.
"Lo merokok ya" tutur Nik tertawa kecil sembari melipat tangan didada.
Terlihat Ares tidak menyahut, ia hanya tertawa kecil dengan beberapa kali hisapan rokoknya
Ia bisa memaklumi jika Nik tidak merokok dan hal itu sangat kelihatan dari penampilannya yang rapi dan bersih tidak seperti Ares yang berantakan.
"Airnya tenang, kayak lo" tutur Nik lagi membuat Ares menoleh tak mengerti.
"Iya, lo kan jarang ngomong, tenang, kayak air ini" lanjut Nik tertawa kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARES
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Ares. Preman kampus. Dingin, sedingin musim salju di Antartika. Skeptis dan kasar, tidak peduli pada siapapun. Ruth. Anak SMA. Cerah, secerah musim panas di Jepang. Hiperaktif dan konyol, naksir berat dengan Ares. Ini tenta...