Ruth mendadak terpaku mendengar kalimat yang Ares lontarkan, matanya mengijap-ngijap cepat, senada dengan jantungnya yang sedari tadi berpacu.
Ia menggigit bibirnya, merasakan betapa manis nya bibir Ares yang tadi seenaknya menempel disana, dan membayang kan bagaimana—
“Ngapain bengong?” suara Ares yang kasar pun menyadarkannya.
“Hah?? Eh iya..” gadis itu berniat melangkah dengan seribu perasaan langka.
Namun langkahnya terhenti saat Ares menahan tangannya dan gadis itu pun menoleh ke belakang, dimana lelaki tinggi itu sudah dulu menatapnya.
“Ke-kenapa res?” tanyanya gugup merasa tangan Ares yang menggamit lengannya.
“Pake aja” ujar Ares yang tiba-tiba menyerahkan kembali jaket hitam keramatnya dengan wajah datar, membuat Ruth menganga tolol.
Ruth menyambut jaket hitam itu dari tangan Ares dengan ekspresi yang tidak bisa diungkapkan lagi, dia pun sampai bingung ekspresi wajahnya seperti apa saat ini.
“Buat gue nih ceritanya?” godanya sok malu-malu.
“Nggak”
“Loh trus?”
“Ya pake aja”
“Kenapa?”
“Jaket lo tipis semua, gak tebal kayak jaket gue”
“Kan gue bisa beli”
“Gak usah suka ngabisin duit, orang tua udah kerja keras”
“Kan gue bisa nabung”
“Lo boros gak akan bisa nabung”
“Tapi kenapa harus jaket Ares? Nanti Ares pake apa dong?”
“Gue laki-laki, hujan panas udah biasa”
“Tapi kan—“
“Ck, banyak bacot, masuk sana”
Gadis itu memasang wajah cemberut meski dalam hatinya memekik kegirangan, tak menyangka bahwa Ares akan sebaik ini padanya.
Dan hatinya semakin yakin, bahwa Ares juga punya perasaan padanya. Tidak, Ares masih punya rasa itu.
“Gue masuk ya. Ares hati-hati di jalan jangan singgah kesana sini lagi, jangan lirik-lirik cewek” ujarnya.
“Jangan suka sama cewek lain selain gue, jutek-jutek aja kalo ada cewek yang dekatin, tapi jangan jutek ke gue, trus—“
“Lo punya kuping gak sih??” potong Ares, sudah benar-benar kesal dengan ocehan gadis di depannya ini yang tiada henti memperingatkannya.
“Punya nih masa Ares gak liat?” jawab gadis itu tanpa dosa.
“Masuk sekarang sebelum gue—“
“Gue boleh peluk Ares gak?” potong Ruth tiba-tiba tetap setia mendongak.
Ares tertegun, wajahnya yang tadi kesal terlihat berubah tanpa ekspresi.
Ia menatap Ruth yang wajahnya sedikit berharap, berharap dirinya mengiyakan permintaannya.
“Nggak” sahut Ares akhirnya dengan wajah datar.
“Tapi gue kangen banget sama Ares, udah lama kita gak pelukan. Emang Ares gak kangen peluk gue?” tuturnya dengan wajah penuh harap.
Ares terus menatapnya, menahan sedikit senyum yang hampir muncul di bibirnya karena ucapan poloa gadi ini, namun selalu berhasil ditahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARES
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Ares. Preman kampus. Dingin, sedingin musim salju di Antartika. Skeptis dan kasar, tidak peduli pada siapapun. Ruth. Anak SMA. Cerah, secerah musim panas di Jepang. Hiperaktif dan konyol, naksir berat dengan Ares. Ini tenta...