“Ares itu pacar gue jangan sentuh-sentuh dia!!”
Teriakan itu sukses membuat semua orang terdiam, langkah Ares dan Kina pun terhenti, ayah, bunda, om, tante, Nik dan orang lainnya pun terpaku.
Semua orang tercengang, terlebih Nik sendiri yang saat itu tengah duduk berdampingan dengan Ruth.
Wajahnya memancarkan sebuah shock yang amat dalam, seakan hal itu baru saja membuat kepalanya hampir pecah.
Ayah? Jangan ditanya bagaimana ekpresinya, sudah pasti Ruth akan tamat setelah kejadian memalukan ini.
Om Bram? Oh apa lagi pria paruh baya itu, ia benar-benar akan jantungan kalau saja tidak ada Tante Kim yang mengelus-elus bahunya.
Teman-teman sekolah Ruth pun begitu, mari kita simak apa saja yang sudah mereka bisiki setelah mendengar teriakan khas milik gadis itu barusan.
Mungkin semacam, ihh gak punya harga diri banget udah punya tunangan masih ngejar cowo lain.
Atau, keluarga macam apa ini yang bisa-bisanya mengacaukan acaranya sendiri.
Atau juga, katanya keluarga terhormat tapi kok anaknya gak punya harga diri gitu sih?
Ditambah lagi, dasar cewek murahan di depan tunangannya dan banyak orang bisa-bisanya goda cowok lain.
Namun Ruth sendiri, ia tidak peduli.
Sorot matanya masih sangat tajam menusuk kedua orang yang saat itu sudah berhenti melangkah agak jauh di depannya.
Ayah yang tampak sudah tidak punya kesabaran lagi itu berniat melangkah kearah Ruth, namun bunda segera mencegatnya.
“Jangan yah, biarin aja..” bisik bunda tersenyum lembut sambil menyabarkan ayah.
Ayah terpaksa mengurungkan niatnya untuk menampar gadis itu sambil menahan nafasnya yang sudah menderu.
Emosinya kian memuncak terlebih saat menyaksikan rekan kerjanya yang berekspresi tidak percaya akan hal itu.
Ting ting!
Keheningan tersebut mencair karena suara dentingan gelas yang di lakukan oleh Om Baron dan semua orang pun menoleh ke sumber suaranya.
“Mari dilanjutkan” ucap Om Baron dengan senyum tenang.
Terima kasih kepadanya karena semua orang tampak tidak mengambil pusing akan hal yang baru saja terjadi, meski ada beberapa yang masih memandang ke Ruth.
Gadis itu benar-benar tidak melepas tatapannya dari punggung Ares yang membelakanginya saat itu.
Ia menahan matanya yang sudah berkaca-kaca, berusaha tidak mempercayai semua ini, semua yang sedang terjadi saat ini.
Mengapa Ares?
Mengapa harus Ares yang mengalah?
Mengapa harus Ares yang menjadi saksi bisu penderitaannya selama ini?
Mengapa Ares tidak berusaha merebut dan memperjuangkannya?
Semua pertanyaan itu berkelebat di kepala Ruth, membuatnya menggerakkan tangan dan mencengkeram rambutnya kuat.
Langkah Ares dan Kina yang tadinya sempat terhenti, kini kembali dilanjutkan.
Mereka tetap melangkah dengan tenang, tidak menuju meja makanan, namun menuju luar, mungkin saja Ares yang membawa Kina untuk keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARES
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Ares. Preman kampus. Dingin, sedingin musim salju di Antartika. Skeptis dan kasar, tidak peduli pada siapapun. Ruth. Anak SMA. Cerah, secerah musim panas di Jepang. Hiperaktif dan konyol, naksir berat dengan Ares. Ini tenta...