Cie Khawatir

33.9K 2.8K 89
                                    

Sore hari benar-benar tak nampak karena matahari masih awet memaparkan sinarnya,meski keliatannya sedikit lagi tenggelam di ufuk barat.

Bram yang sudah sampai di kafe andalannya itu melangkah kan kaki dengan tenang kedalam,lalu duduk di meja nomor sembilan.

Entah mengapa pria itu sangat menyukai meja nomor Sembilan, mungkin karena paling pojok.

Sambil menunggu pesanannya, pria itu terlihat memeriksa jam di tangannya untuk beberapa kali.

Hari ini ia tidak menggunakan jas resmi seperti biasanya,yang mencerminkan bahwa dirinya orang yang berprofesi cukup bagus.

Ia hanya mengenakan baju kemeja berlengan panjang dan digulung setengah sampai siku.

Sekitar lima belas menit lamanya ia menunggu ,akhirnya orang yang dinanti-nanti datang.

Ia memasuki kafe dengan menenteng sebuah botol di tangannya, entah botol apa itu yang jelas isinya tak terlihat.

Pria yang mungkin seumuran dengannya itu melangkah menuju mejanya sambil tersenyum.

Bajunya tertutupi jaket kulit hitam yang bergambar tengkorak di saku kirinya, sebuah topi hitam menutupi rambutnya yang sedikit beruban, serta jari-jemarinya yang bertato.

Sebelum sampai ke meja Bram,ia meminta dua gelas kecil kepada waitress.

"Bram?" sapanya.

Lalu kedua pria paruh baya yang penampilannya benar-benar terbalik 180 derajat itu saling berpelukan sambil tertawa ringan.

"Baron!" seru Bram menepuk-nepuk pundak sobatnya itu.

"Masih bandel saja penampilan mu, Ron" ujar Bram menduduki diri.

"Ya beginilah,tak ada yang berubah sama sekali kecuali warna rambut yang makin putih" katanya lalu terbahak diikuti tawa Bram.

"Sudah aku pesankan, yang biasa toh?" kata Bram mengendikkan kepala.

"Ah, padahal aku sudah bawa yang khusus ini..." ujar Baron sambil mengangkat botol yang dari tadi dipegangnya.

Ia membuka tutup botol yang jelas-jelas tuperware itu hingga bau alkohol yang menyengat keluar dari dalamnya membuat Bram terbatuk-batuk menciumnya.

"Vodka" lanjut Baron sambil menaik-turunkan alis.

Bram hanya menggeleng kan kepala.

"Jadi... Bagaimana kabar mu sama siapa itu... Kim kah?" ujar Baron, menuangkan minumannya ke dalam gelas yang tadi di mintanya.

"Baik. Kami punya satu anak" jawab Bram menatap hambar ke sembarang arah. Baron menoleh.

"Wow.. Bagus itu!" seru Baron lalu meneguk minumanya. Bram tertawa hambar.

"Gimana anak ku? Kamu racuni apa saja otak nya sampai sekeras itu?" tanya Bram lagi sambil meraih segelas minuman yang tadi dituangkan Baron untuknya.

Baron tertawa ringan.

"Aku tak mengajarkan dia apa-apa."

"Ingin ku ajarkan dia menjadi lelaki tangguh, dia sudah melakukannya dengan baik. Ingin kuajarkan cara bersimpati dengan baik kepada orang, dia selalu menutupi masalahnya dan menyelesaikannya sendiri. Ingin kuajarkan untuk mandiri, dia tak pernah meminta bantuan sedikitpun dari ku selama ini."

" Hanya saja, aku terlalu salut dengan pendiriannya yang teguh itu, aku melengkapi segala kebutuhannya dengan uang yang kalian kirim setiap bulan. Jadi, kurasa hanya itu yang tak bisa dia tolak karena aku selalu memaksanya untuk terima"

ANTARESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang