Part 34

71 14 4
                                    

Happy Reading❤

Setelah lelah menghadapi saudara-saudaranya, Altair menuju lapangan basket yang berada di belakang rumahnya. Padahal ia sudah mengatakan pada Althaf bahwa tidak boleh terlalu difosir latihan basket, karena takut menyebabkan kelalahan dan berujung kekalahan.

Karena sifat keras kepalanya, Altair berfikir bahwa harus tetap latihan basket meski pertandingan diadakan hari kamis, ia terus berlatih sendiri dimulai berlatih driblle, dan menshooting.

Altair sangat fokus memainkan bolanya. Ia hanya sendiri sekarang, Althaf dan Fabian yang ikut serta bertanding hari kamis tidak ikut latihan bermain basket dengannya, karena Altari melarang mereka takut-mereka kelelahan.

"Gue harus bisa kalahin timnya Dicky gimanapun caranya, kalau gue menang gue akan minta ke dia, kalau dia harus jauhin Alula, gue gak mau adik gue berhubungan deket sama musuh gue sendirj," gumam Altair bermonolog, sambil memantulkan bola basketnya ke bawah. Saat Dicky mengatakan bahwa ada permintaan setelah permainan selesai, Altair langsung menyetujuinya karena jika ia menang ia ingin Dicky memutuskan hubungannya dengan Alula, dan lebih baik Alula berpacaran dengan Putra-teman dekatnya sendiri dibanding dengan Dicky-musuhnya.

"Altair, makan dulu," panggil Nadjwa dari pintu lapangan. Altair menoleh, kembali fokus pada bola oranye itu. "Nanti aja, Mi, tanggung lagi latihan."

Nadjwa menggelengkan kepalanya, ia menghampiri anak sulungnya itu dan menjewer telinganya. "Ayo makan!" Nadjwa menarik telinganya agar Altair mengikuti langkahnya. "Awhh, sakit, Mi. Iya aku makan, udah dong," rengek Altair.

Nadjwa pun melepaskan jewerannya. "Bandel banget sih jadi anak! Jangan terlalu dipaksain main basket, tubuh kamu itu entar cape. Dari pas pulang sekolah belum makan, terus sore-sore gini malah main basket, kata Althaf pas olahraga tadi udah main basket, jangan terus-terusan!" gertak Nadjwa. "Kamu mau tau gimana caranya lawan bakal kalah?" lanjut Nadjwa.

"Gimana, Mi? Mami tau?"

"Tau, Mami dulu pernah ikut lomba basket lawan sekolah lain. Papa kamu juga kapten basket dulu," jelas Nadjwa. "Altair juga tau, Mi, kalau Papa kapten basket dan Mami jago basket. Tuhan tau ya kalian cocok makanya kalian dipersatukan, nanti Altair nikahnya sama siapa, ya?" pikir Altair.

Nadjwa tersenyum geli. "Mami setujunya kamu sama Aquila," jawab Nadjwa nampak meledek.

Yaampun belum berjuang aja udah direstuin, hahaha, batin Altair.

"Dih, amit-amit!" desis Altair, sebenarnya di dalam hati ia senang. Begitulah, kita tidak tahu hati seseorang seperti apa, bagaimana, terkadang omongan tidak sesuai dengan yang dirasakan. "Halah, sekarang amit-amit nanti aamiin-aamiin," ledek Nadjwa.

"Tadi apa, Mi, rahasianya biar menang?" ujar Altair mengalihkan pembicaraan. "Kamu tuh bisaan ya ngalihinnya, persis kayak Papa kamu tuh. Pinter ngalihin pembicaraan," sewot Nadjwa.

"Ih, Mi! Apa cepetan!" rajuk Altair. "Cari kelemahannya, jangan terlalu gegabah untuk memenangkan sesuatu, karena jika kamu tidak memakai hati dalam bertindak kamu akan terjerumus pada jebakan dan tak luput dari kekalahan. Basket itu emang olahraga, tapi kamu mainnya jangan cuma pakai logika. Pakai juga hati, kalau kamu gak mood main, pasti hasilnya gak akan bagus, 'kan? Jadi, ingat.  Pakai hati itu penting apalagi soal perasaan. Terutama cowo, jarang banget tuh pake hati, biasanya pake logika terus."

Altair tertegun mendengarnya. Kata-kata Nadjwa seolah-olah menyindirnya sebagai predikat playboy. Altair terpojok pada kata "Terutama cowo, jarang banget tuh pakai hati, biasanya pake logika terus" ia jadi berfikiran bahwa gengsinya itu adalah sebagian dari logika. Logikanya selalu menghasut dia agar tidak menyatakan cintanya pada Aquila, karena itu hal memalukan. Dia musuh Aquila, jadi ia tidak akan mengungkapkannya karena malu. Apa ia harus menuruti kata hatinya yang meminta ia untuk mengungkapkannya pada Aquila?

ALTAIR BADRAN [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang