Mulmed: Ayah, SEVENTEEN.
Happy Reading❤
Papa, bagaikan penopang tubuh yang sudah remuk. Dia orang yang hebat dan berarti di hidup saya, saya yakin papa akan selalu ada dan tak akan pergi, tapi di dunia ini tidak ada yang abadi, semua akan kembali kepada pemiliknya, selamat jalan Papa. -Altair untuk Adit.
****
Altair membuka pintu rumah kosong itu secara perlahan. Nuansa gelap menusuk indra penglihatannya. Terlihat jelas seorang gadis tengah diikat di penopang bangunan yang panjang. Mata Altair memanas melihatnya, bibirnya seolah bungkam. Tak ada kata-kata apapun yang bisa Altair ucapkan saat ia melihat adik kesayangannya sudah dilecehkan.
Isakan tangis Alula seolah terhenti, wajahnya kusam, dan energinya terkuras habis. Altair mendekat, disusul oleh Adit di belakangnya. "Jangan mendekat," ujar Alula. "La," lirih Adit.
"Jangan ada yang mendekat. Saya kotor." Rintihannya benar-benar menusuk hati Adit dan Altair. Altair mendekat, membukakan ikatan talinya. "Pergi!" usir Aquila.
"Pergi dari sini!" Adit menangis melihat putrinya hancur seperti ini, ia merasa gagal menjadi seorang ayah. Altair mengancingkan dua kancing yang terbuka pada seragam Alula, memakaikan jaket tepat pada rok Alula yang sobek, yaitu bagian depan. "Maafin Papa." Adit memeluk Alula, mengelus lembut kepala putrinya.
"Aku kotor, Pa," lirih Alula. Isakan yang terpendam seolah menguak kembali, tubuhnya berdesir hebat, Alula bagaikan orang yang tidak mempunyai semangat hidup lagi. "Aku gak bisa jaga rumah aku sendiri," lanjutnya dibarengi dengan isakan tangis yang menjadi-jadi.
Altair mengepalkan tangannya kuat-kuat. Jantungnya terasa ingin pecah, urat nadinya seakan ingin putus. Kini keadaannya sedang tidak baik-baik saja. Ia kecewa akan ini semua, atas pengungkapan tentang Alerga dan Varga di masa lalu, dan lebih parahnya, Alula yang dilecehkan oleh musuhnya sendiri. Seakan, memori masa lalu berputar kembali seperti kaset.
Flashback on.
Saat mereka umur 7 tahun:
"Lula! Jangan jauh-jauh. Nanti abang gak bisa jagain kamu," teriak Altair. Alula tersenyum manis dari arah jauh melambaikan tangannya. "Sini, Bang! Seru tau."
"Lula nakal!" Altair menghampiri Alula, tetapi gadis kecil itu malah menghindar. Altair mengejarnya, lalu memeluknya dari belakang. "Nah, kena kamu! Jangan pergi ke mana-mana, La. Abang takut kamu kenapa-napa. Jangan pernah jauh dari abang sama bang Althaf ya."
"Iya, Lula gak akan ke mana-mana. Lula bakal selalu sama abang, abang janji ya bakal jagain Lula sampai kita udah besar?" Alula menunjukkan jari kelingkingnya, Altair menautkannya dan berjanji. "Abang janji."
Flashback off.
Rasanya Altair ingin pergi saja dari dunia ini, ia tidak bisa melihat kesedihan di raut wajah adiknya. Umpatan di dalam hatinya masih terpendam, ia ingin membalaskan semuanya pada Dicky. "Mati lo Dicky, bangsat!" geramnya, memukul meja yang berada di samping badannya. Darah berceceran di mana-mana, buku-buku jemari Altair tergores paku yang menonjol pada meja itu.
"Jangan pernah anggap gue abang lo lagi, La." Alula melepaskan pelukannya dengan Adit, menoleh ke arah Altair. "Kenapa lo ngomong gitu, Bang?" tukasnya dengan nada serak.
"Karena gue gak bisa jaga lo, La. Gue gagal sebagai seorang abang." Altair berlari kecil, memeluk tubuh Aquila. Jeritan-jeritan perih yang Alula tahan kini menguar hebat, Alula menangis tersedu-sedu. "Abang," lirihnya. Alula menumpahkan segala kepedihan yang menancap halus di relung hati.
Hati Altair melunak setelah berpelukan dengan Alula. Seolah kobaran api yang membakar habis tubuhnya, mereda seketika oleh air sejuk. Meski tidak merasakan apa yang Alula rasakan, Altair tahu betul jika adiknya telah hancur. "Gue malu," ujarnya pilu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTAIR BADRAN [REVISI]
Teen FictionCerita ini adalah cerita generasi kedua dari cerita ADITYA, selamat membaca cerita ALTAIR DAN AQUILA❤❤❤ Altair Badran Dhananjaya nama yang bagus jika didengar, tapi tidak dengan sikapnya. Altair adalah seorang Playboy, pemalak, dan badboy karena suk...