Part 64

70 7 0
                                    

Happy Reading❤

"Awhh, sakit tau!" Aquila berulang kali meringis kesakitan karena Altair mengobati lukanya. Altair bersabar, ia mengigit bibir bawahnya, berusaha menahan perih yang terdapat pada bagian kakinya, Aquila belum tau karena mungkin gadis itu belum melihat lukanya.

Setelah Aquila mengajaknya ke taman terbuka tadi, Altair merasa lebih tenang. Dan, lelaki itu baru ingat jika Aquila terluka, itupun belum diobati lukanya. Altair memaksa dirinya untuk pulang, untuk mengobati lukanya terlebih dahulu. "Iya, aku pelan-pelan," kata Altair dengan suara lembut. "Tau deh, jomlo diem aja," sindir Romeo.

"Makanya punya cewe! Keliatan banget gak lakunya lo!" ejek Putra dengan tawanya. "Kamu gak boleh gitu loh, Mas. Tega kamu!" pekik Romeo histeris.

"Homo banget anak bapak junaedi!" ledek Putra meledeknya dengan membawa nama papa Romeo. "Selamet ulang tahun-selamet ulang tahun-"

"Gue gerek lo nyanyiin itu sekali lagi," ancam Putra, matanya menyorot tajam pada Romeo karena sahabatnya itu meledeki nama Papanya. "BERISIK! BISA DIEM GAK LO BERDUA?!" sungut Fabian.

"Yaampun, Bang. Kamu kalau marah makin menggoda rupanya," goda Romeo. "Mau gak, jadi kekasih ku?" tembak Romeo mendapat tatapan jijik dari semua orang.

"Mau," jawab Fabian dengan senyuman terpaksa. "Astagfirullah, lo sehat, Fab?" Putra memegang kening sahabatnya itu, tapi tidak ada masalah.

"Fab, jangan bilang kalau lo selama ini gay?" tebak Althaf. Fabian geram, ia memukul kepala Althaf kelewat kencang. "Sakit bego!" racau Althaf meringis.

"Mau nguburin dia maksudnya, muak gue. Gak usah ditemenin lah orang kayak gini, dasar titisan mimi peri!" ledek Fabian, mengundang gelak tawa semua orang. "Eh, besok, 'kan,  ulangan terakhir. Gue mau nanya, pelajarannya apa, sih?" tanya Putra.

"Emang kalau kita kasih tau, lo bakal belajar?" Putra menyengir. "Gak lah, kan ada Althaf, Aquila, sama Badran. Maksudnya, gue itu mau nyiapin kertas buat contekan nanti!" seru Putra. Yah, mereka memang sedang menghadapi ujian akhir semester, ujian ini menentukan mereka naik atau tidak di kelas dua belas, mereka membolos karena sudah selesai mengisi soal ujian, begitu juga dengan Aquila, kemarin gadis itu mengikuti les tambahan, sementara Altair dkk membolos. Kelas tambahan itu sebenarnya wajib diikuti, tapi kebanyakan anak-anak pemalas membolos.

"Eh, cumi! Enak banget lo tinggal nyontek doang. Ibaratnya tuh, ya. Lo ngebaperin terus ninggalin, nyesek bro!" seru Altair, yang selesai mengobati luka Aquila. "Iya deh, yang berpengalaman mah," kekeh Putra.

"Sialan emang! Cape gue jadi temen lu!" keluh Altair. "By the way. Kasian juga sih, si Dicky. Udah kelas dua belas, malah masuk penjara. YHAAA!" ledek Putra.

"Gue sih gak kasian, dia jahat udah bunuh Papa gue, benci banget gue, Tra." Wajah Altair berubah menjadi murung jika mengingat siapa saja orang yang membunuh Papanya. "Sorry, Dran," ujar Putra merasa bersalah.

"Santai. Tapi kadang takdir selucu ini ya, gue dari dulu ditinggalin terus sama orang yang gue sayang, dari mulai Aya sampai Papa, kadang gue mikir. Kenapa harus gue yang dapet ini semua? Gue salah apa?"

Aquila mengelus bahu Altair. "Hei." Gadis itu megangkat dagu Altair, karena ia sedikit menunduk. "Jangan suka berfikiran lo salah apa, tuhan sayang sama lo, Dran. Dia kasih lo cobaan karena dia yakin lo bisa ngelewatin ini semua," suport Aquila.

Ke empat temannya, juga teman Aquila mengangkat jempol mereka. "SETUJU BANGET GUE SAMA LO, LA!" seru Raisha. "Bener, setuju. Meski gue benci banget nih, Dran, sama lo. Tapi gue juga punya rasa iba kalau liat lo kayak gini," sahut Kayra.

Altair terkekeh. "Sorry, Ra. Kalau misal gue tiba-tiba jauhin lo waktu itu, gue kira lo masih sayang sama gue," cengir Altair. "Dih, amit-amit. Gak lah, lo yang nyakitin gue, kenapa juga gue harus gagal move on? Sorry, gak!" Kayra menjulurkan lidahnya, meledek Altair.

ALTAIR BADRAN [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang