Part 54

61 7 0
                                    

Happy Reading❤

Altair pulang bersama kedua kembarnya juga Aquila. Sore sudah berganti malam, Alula dan Althaf membersihkan diri mereka masing-masing, kecuali Altair. Lelaki itu masih setia menemani Aquila di ruang tamu.

Wajah gadis itu pucat, Altair tau jika Aquila sakit. Mereka duduk berdua di sofa, Altair mengarahkan kepala Aquila ke bahunya, bersenderlah gadis itu di bahu Altair. Altair mengelus kepala Aquila dengan lembut. "La, lo lemes banget? Mandi dulu gih, udah kelewat maghrib soalnya. Sekalian kita sholat," kata Altair lembut. "Gue pusing, Dran, mual juga. Rasanya mau muntah," terang Aquila.

"Lo mau tidur? Sini di paha gue." Aquila menggeleng tidak mau. "Maunya apa?" Altair bertanya sabar.

"Gak mau apa-apa. Ini maghrib udah lewat ya? Boleh sholat sekarang gak sih?" Aquila melirik jam di ruang tamu menunjukan pukul 06.30. "Udah, yuk, sholat. Yang penting kita sholat," lanjut Aquila-mengubah posisinya menjadi berdiri.

Altair ikut berdiri, ia merangkul Aquila. "Bukan yang penting kita sholat, tapi sholat itu penting, sayang." Altair mengacak-acak rambut Aquila. Aquila hanya tersenyum menanggapinya. Altair mengajak Aquila ke kamarnya. Mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. "Heh! Mau ngapain lo? Awas ya kalau macem-macem!" Aquila sudah siap-siap jika Altair berbuat macam-macam, badannya memang masih lemas, tetapi ia berusaha untuk menguatkan diri.

"Gue masih waras!" Altair membuka bajunya-telanjang dada. Aquila menutup matanya rapat-rapat. "Astagfirullah, Badran! Aneh-aneh aja, ih. Gue gak mau zina mata! Lo gue timpuk ya lama-lama," ancam Aquila.

"Halah zina mata, tai! Bilang aja lo gak kuat, 'kan sama pesona gue?!" Altair terkekeh kecil. Aquila ini sangat lucu. Gadis itu membuka matanya, lalu menoyor wajah tampan Altair. "Najis! Sana pergi!" usir Aquila.

"Orang ini kamar gue, masa gue disuruh pergi." Altair berjalan mendekat, Aquila mundur beberapa langkah, hingga tak ada jalan untuknya melangkah, tubuhnya sudah menabrak tembok. "I-ini kamar lo-Badran lo mau ngapain?!"

Altair membelai surai rambut Aquila dengan lembut. Aquila memejamkan matanya saat wajah Altair mendekat. Altair terkekeh geli melihat wajah Aquila yang berkeringat. Lelaki itu mengelap keringat Aquila menggunakana jarinya. "Berharap banget gue apa-apain," kekeh Altair.

Plak.

Aquila refleks menampar Altair. "Mampus, wlee!" Gadis itu berlari ke kamar mandi yang terdapat di kamar Altair. "Jangan ngintip, gue mau mandi," pesannya saat berada di kamar mandi.

"Pedes banget nih tamparan kayak sambel emak," ujar Altair nelangsa. Ia pun turun untuk membersihkan diri di kamar mandi yang lain, selain banyak kamar, rumah Altair juga banyak kamar mandi. Setelah keduanya selesai, mereka menunaikan ibadah bersama-sama. "Serasi banget euy," komentar Alula yang membuka pintu kamar Altair pelan-pelan bersama Althaf.

Lalu, Alula menutupnya kembali saat keduanya selesai sholat. Aquila mencium tangan Altair. "Gue berharap, kedepannya gue yang bakal jadi imam lo." Ucapan itu membuat Aquila hampir gila. "Aamiin," jawab Aquila, lalu mereka terkekeh bersama.

Keadaan Aquila sudah membaik, entah karena apa. Ia belum berobat ataupun meminum obat, tetapi saat ia bersama Altair, rasa sakitnya seolah hilang. "Lo tidur di sini aja, gue mau jagain lo di sofa," ucap Altair.

Mereka selesai melipat alat sholat. "Gak mau, entar lo macem-macem bahaya!" tolak Aquila. "Pop ice kali, ah, macem-macem toping." Altair menyepelekannya asal.

"Dran, karena gue numpang tinggal di sini, gue mau, kok, jadi pembantu. Lagian orangtua lo lagi gak ada, 'kan? Gue bisa bantu-bantu. Terserah mau lo gaji atau gak, kalau semisalnya digaji gak usah kasih gue uang, ya. Gue mau bayar hutang gue ke, lo, waktu lo tanding MMA itu," terang Aquila.

ALTAIR BADRAN [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang