Part 16

79 17 1
                                    

Happy Reading❤

Adit memandang Altair yang baru datang dengan sorotan mata tajam. Altair tidak pulang bersama Althaf dan Alula, Althaf pulang diantar Fabian, Alula dijemput Nadjwa, dan Altair jalan kaki. Kebetulan rumahnya tidak terlalu jauh dengan sekolahnya, lelaki itu ingin menghemat uang makanya tidak naik angkutan umum atau kendaraan lainnya. "Kenapa lagi?" tanya Adit.

"Berantem," jawab Altair dengan wajah datarnya. Adit menggelengkan kepalanya lalu berdecak. "Jangan diulangin lagi, Mami keliatan kecewa sama kamu. Nanti kamu minta maaf sama dia ya." Altair mengangguk dan tersenyum tipis, dikeadaan seperti ini memang hanya Adit yang mengerti dirinya. Mengapa Adit tidak marah? karena ia pernah diposisi Altair, babak belur seperti ini saat SMA.

Adit menepuk bahu Altair pelan. "Wajar berantem namanya juga cowo, tapi jangan keseringan. Kamu jagoan jangan merasa terlalu terpukul karena dimarahin sama Mami," bisik Adit. Karena bisikan Adit, Altair jadi sedikit termotivasi. Perkataan Papanya sangat membuatnya lebih berguna dalam hidup, seolah Adit merasakan apa yang Altair rasakan.

"Papa bukannya ngajarin kamu gak bener, Papa cuma pengen liat kamu bahagia sama hidup kamu. Papa gak larang kamu untuk berantem, karena kalau ada musuh ya kamu juga berhak melawan, jangan diem aja. Tapi kalau soal tawuran, Papa gak akan setuju sama keputusan kamu."

"Kenapa gitu?" Altair merubah posisi berdirinya menjadi menghadap Adit, menatap Papanya itu lebih serius. Adit tidak mau anak-anaknya mengikuti jejak nakalnya dulu, itu sebabnya Adit melarang Altair dan Althaf untuk tawuran karena tawuran masuk ke dalam tindak kriminal.

"Papa gak suka aja," jawab Adit enteng. "Oh." Altair bergegas menuju kamarnya untuk berganti baju dan pergi ke tempat yang bisa membuatnya lebih tenang yaitu alam mimpi.

Sebelum memasuki kamar, Altair mendengar isakan tangis Nadjwa di samping kamarnya. Altair tau mengapa Adit tidak menemani Nadjwa dikamar, Adit hanya takut Nadjwa dan dirinya bertengkar hebat mengenai soal anak, setiap anak-anaknya berkelakuan nakal, mereka berdua sering berdebat hebat.

Altair menghembuskan napasnya dan membuangnya secara kasar. Ia memasuki kamar Nadjwa tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. "Mi," panggil Altair dengan suara lirih.

Nadjwa menengok sekilas mendapati putranya yang menghampirinya. "Kenapa?" tanya Nadjwa dengan raut wajah dingin. "Maafin Altair ya, Mi." Altair menundukkan kepalanya karena merasa bersalah.

"Iya," jawab Nadjwa nampak tak berselera. "Yang ikhlas, Mi," pinta Altair dengan wajah memelasnya.

Altair mengusap air mata Nadjwa diwajahnya. "Kalau Mami maafin kamu, apa kamu bisa janji gak akan berantem dan ikut tawuran lagi?"

"Altair gak bisa janji, itu semua perlu waktu tapi akan Altair usahain," tegasnya. "Mami bukannya ngelarang kamu dan Althaf, Mami cuma ngerasa gak becus ngerawat anak. Mami suka gak kuat liat wajah kamu yang babak belur begini."

"Mi, Mami jangan ngomong gitu. Mami udah didik Altair dengan baik, jangan ngomong kayak gitu lagi ya, Mi."

"Kamu gak tau, waktu kamu buat Dicky koma Mami sebenarnya sedih banget. Mami juga sempat nangis, tapi Papa semangatin Mami kalau Mami gak boleh sedih dan terlihat biasa aja di depan kamu biar kamu gak ngerasa bersalah. Mami tetap terlihat ceria itu karena Mami gak mau kamu merasakan kesedihan Mami, sebagai seorang ibu. Mami udah cape, Mami gak bisa sembunyiin ini lagi dari kamu, itu sebabnya Mami keluarin unek-unek Mami biar kamu itu ngerti."

Altair tidak tahu jika Nadjwa semenyedihkan ini, Altair tidak mau ada satu tetes air mata yang turun di wajah ibunya sendiri. Tetapi mau bagaimana? Ia tidak bisa menuruti kemauan Nadjwa karena itu keputusan berat-keputusan tidak tawuran itu berat, bagi Altair yang notabe-nya sebagai ketua geng.

ALTAIR BADRAN [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang