Part 35

72 14 0
                                    

Eksklusif MMA.

Happy Reading❤

"Eitss, duit mana? Goceng aja goceng," tagih Altair, mencegah adik kelas yang ingin lewat. "Maaf, Bang, aku gak ada uang," ujarnya dengan wajah memelas.

"Kok bisa sekolah gak bawa uang? Hayo? alasan doang, 'kan lo biar gak ditagih!" tuduh Romeo, mencengkram kuat leher adik kelas itu. "Me, gak usah kasar." Altair membela, menjauhkan tangan Romeo dari cengkraman.

"Lo kenapa gak bawa duit? Mau makan pake apa kalau sekolah gak bawa duit?" tukas Fabian bertubi-tubi. "Bawa bekal, Kak. Aku ke kantin cuma pengen jalan-jalan aja biar gak sepi," katanya.

"Emang lo gak punya temen?" sahut Althaf. Adik kelas itu menggeleng. "Gak ada yang mau temenan sama aku karena aku miskin."

"Siapa yang bilang gitu?" desak Putra. "A-aku gak mau ngasih tau ke kalian, Bang. Takut dikira ngadu."

Altair berdecak. "Lo cowo, man. Harusnya lo lebih berani, jangan mau diinjak-injak apalagi karena masalah ekonomi. Emang orang miskin gak berhak ditemenin? Emang orang miskin gak berhak buat bahagia? Gue aja yang kaya mungkin gak sebahagia lo, karena gue gak pernah hidup sederhana, gue terlalu boros, tapi gue bersyukur alhamdulillah," curhat Altair.

"Emang tuhan sayang sama lo? Tiap hari aja lo buat maksiat terus anjir! Gue aja gak sayang sama lo apa lagi tuhan," cetus Romeo asal, memancing keributan dengan Altair. "Siapa lo? Malaikat Atid yang nyatet amal buruk gue?!" sarkas Altair.

Putra menoyor kedua kepala mereka. "Ribut mulu lo berdua! selesain nih masalah bocah satu kasian gak ada temen."

"Oh, iya." Altair merogoh sakunya. "Nih ada sedikit uang buat lo, ambil ya. Kalau lo nolak gue ceburin lo ke got sekolah!" paksa Altair, memasukkan uang itu ke saku baju adik kelas.

Padahal punya duit kok malah malak? batin adik kelas itu.

Sifat Altair memang mulia sebenarnya, ia akan membantu seseorang yang mengalami kesusahan. Minusnya hanya karena ia nakal, suka memalak, suka bolos, suka tawuran, otak sableng, sudah itu aja. Selebihnya dia baik, dermawan, mulia, ganteng, dan pintar.

"Kelas apa sih, lo?" tanya Althaf kepo. "Kelas sepuluh bahasa 2, Bang," jawab adik kelas itu dengan sopan.

"By the way makasih ya, Bang Badran udah bantu aku, makasih juga abang-abang ini gak jadi malakin aku."

"Iya sama-sama," ucap Altair mewakili teman-temannya. "Gak usah ngomong aku, geli gue dengernya serasa ngomong sama bencong," lanjutnya.

Gadis terkuncir setengah itu mendekati lima lelaki yang berada di depan koridor kelas mereka. Aquila, menarik Altair agar menjauh dari teman-temannya. Ia membawa Altair ke belakang sekolah, lebih tepatnya ingin membicarakan sesuatu. "Urusin tuh bocah, datengin kelasnya. Pastiin semua temen-temen dia mau nemenin dia," teriak Altair, yang posisinya masih ditarik oleh Aquila.

"Apaan sih?!" Altair melepaskan genggamannya. "Lo jadi ikut tarung MMA sama Rama?" tanya Aquila nampak khawatir.

"Ya jadi lah, semalam gue juga udah latihan," kata Altair. "Lebih baik jangan deh, bahaya. Rama jago banget soal tinju meninju."

Altair smirk. "Jago kok pukulan dia gak kerasa waktu gue nolongin lo kemarin-kemarin? Udahlah, gue juga udah biasa bukan sekali dua kali ikut MMA."

"Bukan gitu masalahnya bodoh!" gertak Aquila. "Terus apa?"

"Pokoknya lo gak usah ikut MMA! Gue gak mau-sampe lo kenapa-napa," jawab Aquila jujur. Altair tersenyum ke arahnya, senyum menggoda. "Posesif banget lo pake urusin hidup gue segala, suka ya lo sama gue," tebak Altair berusaha menggoda.

ALTAIR BADRAN [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang