IV

42.9K 2.9K 9
                                    

Rasanya Alin sangat bosan berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Ingin keluar dari sini tapi takut bertemu Arya. Jika bertahan lebih lama lagi,bagaimana dengan pekerjaannya? Ah jadi bingung.

Sudah dua jam aling mondar-mandir tidak jelas. Ia masih berada di kamar yang ada di ruangan Arya. Alin melihat Marsya yang sudah tertidur lelap. Alin memantapkan dirinya.

"Gue harus keluar. Bodoamat kalau nanti bakalan ketemu pak Arya."

Alin membuka pintu secara perlahan. Pertama-tama, ia mengeluarkan kepalanya untuk mengintip keadaan di luar. Rupanya Arya sedang fokus pada bekerja. Ini kesempatan Alin keluar dari sini. Beberapa bulan bekerja dengan Arya, Alin tahu kalau Arya sangat berkonsentrasi saat bekerja. Ia tidak akan terusik dengan keadaan di sekitarnya.

Alin sudaj seperti maling yang hendak melakukan aksinya. Ia sengaja melepas sepatu nya agar tidak mengeluarkan bunyi. Berjalan mengendap-endap secara perlahan namun pasti. Tepat saat melewati meja Arya, "Saya kira kamu tidur bareng Marsya."

Alin tersenyum kikuk. "Eh Bapak. Hehe ya enggak lah Pak. Saya kan masih ada pekerjaan yang harus di selesaikan."

"Kalaupun kamu ikut tidur, saya tidak masalah. Kamu pasti lelah." Ingin rasanya Alin mengiyakan perintah Arya tapi tidak. Ia tidak mau. Alin di sini bekerja. Ia tidak boleh bertindak semaunya.

"Ti... Tidak Pak. Saya mending menyelesaikan pekerjaan yang sudah menumpuk di meja."

Alin berlari dari ruangan Arya. Sampai di luar ia bersandar pada dinding yang terbuat dari kaca tebal. Ia mengatur nafasnya yang memburu.

"Kenapa jantung gue berdetak cepat kayak gini sih. Kayak orang habis lari maraton aja." Gerutu Alin. Ia lantas segera masuk ke ruangannya sebelum Arya keluar.

Jam pulang kantor sudah tiba. Alin sudah ada janji dengan kedua sahabatnya. Mereka akan pergi ke mall hanya untuk sekedar refresing. Sebelum ia benar-benar pamit pulang, Alin akan ke ruangan Arya terlebih dulu untuk memastikan bahwa lelaki itu tidak membutuhkan apa-apa lagi. Kalau menurut jadwal yang Alin punya sih, lelaki itu sudah tidak ada jadwal lagi.

Ia berjalan ke ruangan Arya. Ia menekan bell seperti biasanya. Beberapa menit menunggu pintu itu tak kunjung dibuka. Alin mencobanya lagi, barangkali tadi Arya sedang berada di kamar mandi. Setelah mencoba, hasilnya tetap sama. Bisa saja Alin langsung pulang karena memang ini sudah waktunya pulang. Akan tetapi ia harus tetap menemui Arya. Takutnya si bos membutuhkan bantuannya.

"Apa pak Arya udah pulang ya? Tapi kapan pulangnya? Kok gue nggak tahu." Alin bermonolog sendiri.

"Coba telepon aja kali ya." Alin mengeluarkan HP nya dari saku blazer yang ia gunakan. Ia akan menelpon Arya.

Baru panggilan pertama ternyata sudah diangkat oleh seseorang di seberang sana.

"Iya kenapa?" Alin bisa mendengar suara tangisan dari seberang sana.

"Bapak dimana? Apa sudah pulang?"

"Belum. Saya masih di ruangan"

"Sttt. Udah ya jangan nangis.
Udah dong. Kalau nangis terus nanti sesek lho dadanya"

Alin mendengar dengan jelas Arya berusaha menenangkan seseorang yang sedang menangis. Alin yakin itu adalah Marsya.

"Ini sudah jam pulang kantor. Apa masih ada yang bapak butuhkan lagi?"

"Tidak. Kalau kamu mau pulang. Silahkan."

"Baik Pak. Emmm maaf Pak itu Marsya kenapa ya? Saya denger dia lagi nangis."

"Tadi kepala nya terbentur meja waktu main."

"Ya ampun. Kok bisa sih pak?Saya boleh masuk enggak?" Alin bertanya lebih dulu. Ia bisa langsung masuk ke ruangan Arya tanpa izin laki-laki itu tapi Alin tidak mau. Tidak sopan namanya.

"Bukannya kamu mau pulang?"

"Nanti aja. Saya mau lihat Marsya dulu."

" Ya sudah. Kamu boleh masuk."

Begitu masuk, Alin melihat Arya yang sedang kesusahan menenangkan Marsya. Kemeja lelaki itu sudah terlihat kusut begitupun rambutnya yang sudah sangat berantakan.

Tangan Marsya terus saja menjambak rambut Papi nya.Alin mendekat.

"Sayang, nggak boleh kayak gini dong. Nanti Papi nya sakit."

Huu... Huuu.... Huuu

"Udah ya jangan ya." Alin berusaha menjauhkan tangan Marsya dari kepala Arya. Sesudah tangan gadis cilik itu terlepas, Alin lantas menggendongnya. Ia membawa Marsya menjauh dari Papinya.

"Kenapa sih, hmm."

" Pa... Pi na... Kal," Ucap Marsya terbata-bata.

"Papi nggak nakal. Bukannya Marsya sendiri yang bilang kalau Papi baik?" Marsya diam dan masih sesenggukan.

"Kalau Papi nakal, Papi nggak akan beliin Marsya makanan yang enak, mainan yang banyak dan Papi juga nggak akan beliin Marsya baju baru. Ini baju yang dibeliin Papi kan?" Alin menunjuk pada maju yang di pakai Marsya. Alin tahu baju itu baru, karena tadi Marsya sendiri yang bilang padanya. Pamer. Alin melihat kepala Marsya mengangguk pelan.

"Udah ya nangis nya. Nanti sesek lho dadanya kalau nangis terus."

"Minta maaf ya sama Papi." Marsya melihat Alin sekilas.
Arya masih duduk di atas kasur dengan penampilan yang sangat jauh dari biasanya. Rambut acak-acakan. Baju berantakan.

"Minta maaf ya sama Papi."Alin berjalan mendekati Arya. Setelah sampai di depannya, Alin mengambil tangan Marsya dan mengulurkannya pada Arya. Arya pun menyambut uluran tangan sangat anak.

"Minta maaf Papi." Alin menirukan Marsya.

"Hey... Kalau minta maaf. Dilihat dong Papi nya. Ayo bilang, Papi maaf." Lanjut Alin.
Marsya masih diam saja. Kepalanya bahkan menunduk.

"Ayo dong sayang. Bilang sama Papi nya."

"Pa... Pi ma...af."

"Memangnya Papi ada di bawah hmm? Papi kan ada di depan Marsya. Kenapa Papinya nggak di liat?"

Marsya sedikit mengangkat kepalanya.

"Ma...af."

"Iya Papi maafin." Arya mengambil Marsya dari gendongan Alin. Marsya mengalungkan tangannya di leher Papi nya. Dihadapan Alin, Arya menciumi seluruh permukaan wajah Marsya dengan gemas.

"Memangnya tadi Marsya kenapa sih pak? Kenapa dia bisa marah gitu sama bapak?"

"Awalnya dia nangis biasa karena kepalanya terbentur meja. Lalu Marsya nanyain kamu disela-sela tangisannya."

"Kenapa nggak panggil saya?"

"Saya nggak enak. Saya juga nggak mau ngerepotin kamu terus. Ini sudah jam pulang kantor, kamu pasti mau pulang."

"Kenapa pakai nggak enak segala sih. Kalau memang Marsya butuh saya, tinggal panggil saja. Saya nggak akan merasa keberatan. Jadinya kasihan kalau dia nangis kayak gitu. Kelamaan nangis bisa buat dadanya sesek Pak! Bapak juga lihat penampilannya tuh. Berantakan banget!" Alin mengomel sudah seperti istri yang memarahi suaminya. Entah sadar atau tidak dirinya melakukan itu.

"Yuk Marsya sama Tante . Biar Papi mu beberes dulu." Alin menggendong Marsya dan mengajaknya keluar dari kamar.
Sepeninggal Alin, Arya tersenyum simpul.

Alin bersama Marsya menunggu Arya di sofa yang berada di ruangan tersebut. Arya muncul dengan penampilan yang sudah lebih baik dari sebelumnya.

"Ayo pulang." Alin dan Marsya kompak mengangguk.

"Saya mau ke ruangan sebentar. Mau mengambil tas." Arya mengizinkannya.

Alin, Marsya dan Arya sudah seperti keluarga bahagia. Arya yang tengah menggendong Marsya dan Alin membawakan jas laki-laki itu. Kebersamaan mereka selalu mengundang rasa penasaran bagi orang lain. Seperti saat ini, mereka yang baru saja keluar dari lift dan berjalan menuju lobby mendapat perhatian dari karyawan lain. Jam kantor yang sudah usai membuat lobby dipenuhi karyawan yang akan keluar dari gedung ini.

Dua orang yang melihat kebersamaan mereka berdecak kesal.

"Pantesan ditungguin nggak keluar-keluar. Di telpon juga nggak di angkat. Lagi cosplay jadi keluarga bahagia ternyata."







Double JobsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang