XVII

30K 2.1K 4
                                    

"Kamu ingat pesan saya. Pertama, setiap 2 jam saya akan menelpon untuk menanyakan kabar Marsya. Kedua, selama saya tidak ada, pastikan kebutuhan Marsya terpenuhi. Ketiga, jangan pernah sekalipun kamu membentak atau memarahi Marsya. Keempat _,"

"Stop!Udah dong Pak ngasih wasiatnya. Pengang nih telinga saya denger Bapak ngomong terus." Alin menutup kedua telinganya rapat-rapat.

"Wasiat? Kamu pikir saya sudah mau mati sampai meninggalkan wasiat?"

"Nggak ada yang tahu." Jawab Alin santai. Arya yang mendengar menatap gadis itu tajam.
"Hehehe maaf Pak. Bapak sih bikin saya kesel. Sakit nihh telinga saya. Bapak udah ngomong hal yang sama sebanyak 7 kali lho." Alin mengangkat ketujuh jarinya dan menunjukkan nya pada Arya.

"Masa iya?"

"Saya ngitungin Pak. Mulai dari Bapak jemput saya di rumah sampai kita berada di sini, Bapak ngomong itu terus. Saya sampai hapal kalimat itu di luar kepala." Ucap Alin.

"Hahaha ya maaf." Arya menggaruk belakang kepalanya. "Saya hanya ingin memastikan selama saya pergi, Marsya aman. Itu aja."

Alin menghembuskan napasnya kasar.

"Saya jamin Marsya aman sama saya Pak. Saya nggak biarin sesuatu hal terjadi sama dia. Pokoknya selama Bapak pergi sampai nanti Bapak balik, Marsya akan baik-baik saja. Semut deketin Marsya langsung saya singkirin Pak. Nyamuk mau gigit Marsya bakalan saya pukul Pak dan saya injek-injek Pak. Biar dia nggak hidup lagi."

Arya tertawa terbahak-bahak. "Hahaha. Kamu ini ada-ada aja. Kamu pikir nyamuk bisa bereinkarnasi secepat itu."

Arya menghentikan tawanya. "Saya jadi lega. Saya rasa kamu memang orang yang tepat." Lanjutnya. Tangannya memegang kepala Alin dan mengusak rambutnya pelan. Hal itu tentu saja membuat Alin diam seperti patung.

"Ya sudah saya langsung berangkat ya. Sekali lagi saya titip Marsya dan terima kasih, Alina Pramesti." Suara Arya terdengar begitu lembut. Tanpa diduga, Arya membelai dan mengelus pipi Alin lalu pergi setelah membuat jantung Alin berdetak tidak menentu. Kurang aja! 

"Aaaa Pak Arya gila!"

Alin meninggalkan Bandara sambil menutupi kedua pipinya. Ia bahkan sampai berlari dan tentu saja itu mengundang perhatian dari para orang-orang yang ada di bandara.
Selama ini bosnya itu jarang sekali melakukan sentuhan fisik pada karyawannya. Lha sekarang apa. Berani-beraninya lelaki itu memegang pipi Alin dan mengelus nya.

🍃🍃🍃

Tugas Alin kali ini pasti lebih berat dari sebelumnya. Ia harus memastikan bahwa Marsya dalam kondisi yang baik-baik saja sampai papinya pulang. Arya benar-benar membuktikan ucapannya sebelum berangkat. Lelaki itu menelpon Alin setiap jamnya. Alin heran, memangnya Arya di sana tidak bekerja? Sampai-sampai menghubungi Alin terus-menerus.

Jika tidak Alin reject, mungkin Arya akan menelpon 20 kali dalam sehari. Setiap menelpon laki-laki selalu melakukan panggilan video agar bisa melihat wajah Marsya. Alin bisa melihat tatapan rindu dari mata Arya. Begitu pun sebaliknya. Marsya pun terlihat merindukan papinya. Jika Arya menelpon, Marsya akan selalu menceritakan kegiatan yang dilakukannya. Anak itu terlihat sangat antusias, apalagi saat menceritakan tentang teman-teman barunya. 

Sesuatu hal yang baru Alin ketahui dari sosok Arya adalah ternyata suaranya yang lumayan bagus. Rupanya saat akan tidur, Marsya selalu dinyanyikan lagu pengantar tidur oleh Arya.
Pernah suatu malam, saat Arya menelpon dan Marsya minta untuk dinyanyikan, bukannya Marsya yang tidur malah Alin yang terlelap lebih dulu.

Hari ini sudah genap seminggu Arya meninggalkan Marsya. Menurut jadwal Arya akan kembali hari ini.
Alin dan Marsya sudah standby di bandara sejak pukul 10 pagi. Khusus untuk menjenguk Papinya, Marsya sampai membolos sekolah.
Alin dan Marsya menunggu kedatangan Arya. Mereka tak hanya berdua. Ada dua pengawal yang memang selalu mengawal Marsya.
Pengawal Marsya bukan lagi Rio. Rio mengundurkan diri karena ingin menyelesaikan pendidikannya terlebih dulu. Saat ini laki-laki itu sedang menggarap tugas akhirnya mana dari itu, ia ingin fokus pada hal itu dulu.
Rama tidak mengizinkan Rio mengundurkan diri. Ia hanya memberi cuti panjang agar Rio menyelesaikan pendidikannya terlebih dulu. Jika Rio sudah selesai, ia boleh kembali bekerja dengan Arya.

Kembali ke cerita,
Alin dan Marsya kompak mengenakan pakaian yang sama. Celana jeans warna hitam di padukan kaos polos berwarna merah. Rambut keduanya pun sama-sama dikuncir satu ke belakang.

"Marsya, mau minum atau makan sesuatu enggak?"

"Masih kenyang. Tadi kan udah makan banyak."
Alin tersenyum. Sejak tinggal bersama Alin, Marsya jadi lebih sering makan.

"Atau mau minum aja, siapa tau haus?"

"Enggak.Nanti aja bareng Papi."

"Masa mau minum aja bareng sama Papi? Kalau Papinya Marsya datangnya masih lama gimana?"
Baru saja Alin menutup mulutnya, Marsya berteriak memanggil Papinya. Anak juga sampai berlari mendekat pada Arya.

"Papi!!"

Alin membalikan badannya dan ternyata benar, ada Arya di sana. Arya pun ikut berlari untuk menyambut putrinya.
Keduanya berpelukan dan saling mencium pipi dan kening.

Arya menurunkan Marsya dan meminta agar sang putri salim pada lelaki dan wanita paruh baya yang berada di belakangnya. Alin pernah melihat pasangan itu, ia sangat mengenalnya. Walau belum pernah bertemu secara langsung, ia sangat tahu siapa mereka. Mereka adalah...
Tuan dan nyonya Kalindra. Orang tua dari Arya Kalindra.

Selama bekerja, Alin memang belum pernah sekalipun bertemu pemilik dan pendiri perusahaan tersebut. Tetapi ia sering melihat foto keduanya yang tertempel di dinding ruangan Arya. Alin juga melihat foto mereka di rumah Arya,
Antara foto dengan sosok aslinya, Alin tidak banyak menemukan perbedaan. Nyonya Kalindra masih terlihat cantik meskipun ada beberapa kerutan di wajahnya sedangkan tuan Kalindra masih terlihat gagah dan berwibawa walaupun ia duduk di atas kursi roda.

"Alin."

"Haa!!"

"Kamu kenapa?"

"Eng_Enggak!"

"Kamu tidak ingin berkenalan dengan Papa dan Mama saya?"

" Eh_Ma_Mau kok Pak."

"Lalu kenapa diam masih di sini? Dari tadi lho saya manggil kamu. Kasihan orang tua saya udah nungguin kamu."
Alin rasanya ingin menggeplak kepalanya. Kenapa ia sampai tidak sadar jika Arya sudah berdiri di samping nya sejak tadi.
Ia melihat ke arah kedua orang tua Arya. Keduanya tersenyum. Alin jadi tidak enak hati.

"Maaf Pak. Saya nggak denger." Ucap Alin dengan wajah penuh penyesalan.

"Makanya jangan banyak melamun. Ayo!"
Tanpa meminta persetujuan, Arya menggandeng tangan Alin agar mendekat ke orang tuanya.

"Pa, Ma ini Alin," Ucap Arya pada kedua orang tuanya.
Alin tersenyum kikuk. Ia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Arya namun hal itu sangat sulit dilakukan. Arya menggenggamnya terlalu kuat.

"Pak, tangan saya." Alin berbisik di telinga Arya.

"Kenapa?" Alin mengangkat tangannya yang masih digenggam Arya.

"Kamu mau salaman dengan orang tua saya pakai tangan kiri? Nggak sopan banget!"
Jika Arya bukan bosnya dan jika tidak ada orang tua laki-laki itu, Alin ingin sekali menjambak rambut Arya yang terlihat klimis itu. Di saat Alin bukan pelan nyaris seperti berbisik, Arya justru berbicara cukup tegas.
Orang tua dan para pengawal Arya tertawa melihat interaksi si bos dan sekretarisnya.

Alin mendengus. Niat Alin meminta tangannya dilepas dari genggaman Arya kan bukan seperti itu. Ia malu Arya menggenggam tangannya di depan kedua orang tua laki-laki itu.

Ia mengulurkan tangan kanannya dan mencium punggung tangan tuan dan nyonya Kalindra.

"Benar kata Arya. Kamu memang cantik." Ucap nyonya Kalindra sambil mengelus pundak Alin.

Double JobsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang