XIV

30.5K 2.1K 7
                                    

"Bagaimana? Kamu bersedia dengan tawaran saya?"

" Sepertinya ini bukan sebuah tawaran."

"Ya terserah kamu mau menganggapnya apa. Jadi bagaimana?"

Terdiam sejenak dengan pikiran masing-masing.

"Oke. Saya juga nggak punya pilihan lain kan." Pasrahnya.

"Good job girls. Silahkan kembali ke ruangan mu. Persiapan kan dirimu."

"Baik Pak."

Dalam perjalanan ke ruangan nya Alin terus mendumel tidak jelas.

"Itu bukan tawaran tapi ancaman. Huh!!"

I hate Monday.
I hate Monday
I hate Monday

Kalimat itu terus dirapalkan Alin sepanjang dirinya mempersiapkan diri. Baju kantoran Alin sudah terganti dengan dress selutut berwarna cream. Alin juga memperbaiki penampilannya. Walau ia dipaksa, ia tidak akan mau mempermalukan diri sendiri. Ia akan berpenampilan sebaik mungkin.

Ketukan pintu membuat Alin harus menghentikan kegiatan nya berdandan. Ia yakin jika itu pasti Arya. Alin hanya diberi tahu waktu 10 menit untuk berganti baju dan berdandan.

"Udah siap?" Pertanyaan Arya saat Alin membuka pintu.

"Udah."

"Oke. Kita langsung berangkat."

... ... ...

"Ternyata Mami nya Marsya cantik ya."

"Iya. Masih muda juga. Pasti dulunya nikah muda ya?" Tanya salah seorang ibu-ibu pada Alin.

"Iya jeng. Saya juga baru liat. Habisnya setiap ada acara pasti yang datang cuma Papi nya."

"Maminya Marsya pasti orang sibuk. Iya kan?"

"Atau bisa jadi Papinya Marsya itu orangnya nya posesif ya? Kayak nggak tega gitu istrinya pergi-pergi keluar"

"Iya apalagi istrinya cantik kayak Alin ini pasti papinya Marsya nggak tega buat ngelepas istrinya keluar rumah gitu aja."

"Iya. Takut di godain cowok lain."

Alin hanya menanggapi dengan senyuman. Bingung harus mengatakan apa. Lagi-lagi orang-orang salah paham. Ibu-ibu ini mengira Alin adalah Maminya Marsya. Padahal saat ditanya tadi ia hanya bilang walinya Marsya. Bukan Maminya.

Alin berada di tengah ibu-ibu muda yang sedang mendengarkan penjelasan dari psikolog anak.
Bukannya mendengarkan dengan seksama, mereka malah mengajak Alin mengobrol.

Alin baru tau, ternyata setiap 6 bukan sekali di sekolah Marsya selalu kedatangan psikolog yang akan memberikan motivasi dan pengajaran bagi para orang tua dan juga anak.

Selama menjadi pengasuh dadakan Marsya dan sering menjemput anak itu setiap pulang sekolah tak pernah sekalipun Alin menginjakkan kakinya ke dalam ruang kelas Marsya. Ia dan para orang tua yang menjemput ataupun mengantarkan anaknya hanya di perbolehkan sampai di gerbang saja. Jikalau ada yang harus di tunggui pun ada ruangan tersendiri. Terpisah dari ruang kelas anak-anak.
Di sekolah ini anak benar-benar diajarkan untuk mandiri.

Pekerjaan Alin selama di kantor memang lebih banyak di habiskan untuk duduk tapi pekerjaan itu tidak lemah membuatnya bosan. Beda dengan saat ini. Ia sangat merasa bosan hanya duduk diam seperti patung.
Alin benar-benar ingin mengutuk Arya. Lelaki itu mengatakan acara akan selesai hanya dalam waktu satu jam tapi nyatanya ini sudah lebih dari dua jam dan narasumber masih saja berbicara di depan. Belum lagi akan ada penampilan dari anak-anak. Bisa dipastikan akan semakin lama.
Jika Alin nekat berdiri dan keluar dari sini, ia pasti akan sangat malu karena menjadi pusat perhatian oleh para wali murid yang lain. Tak apalah Alin akan diam saja. Untungnya ada ibu-ibu ini yang bisa menghilangkan rasa bosannya.

Jika ada yang bertanya di mana keberadaan Arya. Akan Alin beritahu. Lelaki itu bergegas pergi setelah mengantarkan Alin sampai di sekolah. Hari ini Arya ada meeting penting dengan salah satu investor dari luar negeri. Alin yang seharusnya ikut malah terdampar di sini karena tawaran lelaki itu.

"Kamu lebih memilih menemani Marsya ATAU  bertemu dengan tuan Robert?"

Alin lebih memilih menemani Marsya tentunya ketimbang bertemu dengan lelaki ganjen macam tuan Robert itu. Percayalah lelaki berusia hampir setengah abad itu adalah lelaki termesum yang pernah Alin kenal. Beberapa kali bertemu dengannya di saat melakukan meeting , lelaki yang berasal dari negeri seberang itu selalu berusaha untuk menarik perhatian Alin. Secara terang-terangan, lelaki itu pernah mengajak Alin dinner, memberi bunga, hadiah-hadiah mewah dll. Itu semua tentu ditolak mentah-mentah oleh Alin. Muali dari situ, Alin jadi takut dengan tuan Robert. Sebisa mungkin ia selalu menghindari pertemuan laki-laki itu.
Beruntungnya Alin mempunyai bos seperti Arya. Ia bisa mengerti keadaan Alin yang tengah menghindari Robert.
Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh Arya. Ia memberikan pilihan yang yang tidak dapat ditolak oleh Alin. Arya memang cerdik. Peluang kecil sekalipun akan di manfaatkannya.
Ia tau Alin tidak akan memilih untuk bertemu dengan Robert makanya hal itu dijadikan sebuah pilihan.

Kembali ke cerita.. 👇

Akhirnya yang ditunggu Alin tiba juga. Selesai narasumber memberikan informasi, Alin lumayan bisa bernafas lega. Berarti sebentar lagi acara akan  selesai. Kurang 1 acara lagi yaitu penampilan dari anak-anak.

Tepukan dari para ibu-ibu yang berada di kanan kiri Alin membuat gadis itu menoleh ke panggung. Beberapa anak-anak sudah berbaris dengan rapi di atas panggung. Anak-anak itu terlihat cantik dan tampan mengenakan pakaian adat dari berbagai wilayah yang ada di tanah air.

Alin memperhatikan satu per satu anak-anak yang ada. Mencari satu-satunya anak yang membuat ia berada disini.
Itu dia.Berada di barisan pertama nomor 5.
Alin bisa melihat Marsya. Anak itu terlihat sangat cantik menggunakan pakaian khas dari daerah Jawa Tengah.
Di pikiran Alin saat ini, siapa yang sudah mendandani Marsya hingga anak itu menjadi sangat cantik seperti saat ini?

"Marsya cantik banget ya Mbak." Alin mengangguk. Kecantikan Marsya memang tidak perlu di ragukan lagi. Anak itu memang benar-benar cantik di usianya yang masih kecil.

"Dia mirip banget ya sama papinya." Alin lagi-lagi menanggapinya dengan anggukan kepala. Marsya memang mirip dengan Arya. Bisa di bilang, Marsya adalah duplikat Arya versi kecilnya.

"Kalau Marsya mirip sama Papinya, kalau punya Adik ya harus mirip sama Maminya. Biar impas."Kepala Alin yang hendak mengangguk, tertahan begitu saja. Ia buru-buru menoleh pada wanita di sampingnya.

"Kenapa bu?" Tanya Alin mengulangi.

"Itu lho Mbak Alin, Marsya kan mirip sama Papinya. Nanti kalau punya Adik ya harus mirip sama Mbak Alin dong. Biar adil kan?"
Mulut Alin terbuka lebar. Matanya melotot. Pikirannya blank.

Apa yang baru saja dikatakannya? Oh tidak.

Adik??

Double JobsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang