XI

33.2K 2.1K 2
                                    

Ingin menghindar? Rasanya susah untuk Alin lakukan. Lagipula untuk apa ia melakukan itu. Ia dan Arya kan tidak memiliki hubungan apa-apa. Apa yang di rasakan Alin saat ini mungkin karena ia masih kesal pada Arya karena kejadian kemarin. Bukannya pulang bersama putrinya, lelaki itu justru pergi dengan kekasihnya. Ia Alin yakin kekesalannya pada Arya karena hal itu. Alin memantapkan hatinya dan menanamkan hal itu dalam dirinya.

Alin melangkahkan kakinya ke ruangan Arya. Ia harus memberikan laporan bahwa ada salah satu klien yang meminta di undur pertemuannya. Alin malas sekali masuk ke ruangan itu mengingat di sana ada perempuan yang kemarin tapi ia harus profesional kan?

Alin memencet tombol dan tak lama pintu terbuka. Alin melihat dengan jelas, Arya dan perempuan itu duduk saling berhadapan terhalang keja kerja Arya.

"Ada apa Alin?"

"Pak Ardian dari PT Santosa minta meeting nya di undur Pak."

" Oke. Kamu bisa keluar sekarang."

Alin tersenyum tipis dan menundukkan badannya sebagai tanda hormat. Baru Alin akan berbalik badan, Arya kembali memanggilnya.

"Iya Pak?"

"Kamu tidak perlu menjemput Marsya, biar saya saja."

"Tapi Pak ini sudah tugas saya."

"Iya tapi untuk kali ini biar saya yang menjemputnya."

"Baik Pak. Kalau begitu saya permisi." Alin tidak perlu mendebat lagi. Arya lebih berhak menjemput Marsya karena lelaki itu kan orang tuanya.
Syukurlah setidaknya tugas Alin berkurang.
Alin pun kembali ke ruangan nya dan berkutat dengan beberapa pekerjaannya.

Setelah Alin keluar, "Parah elo Ar. Nggak lihat mukanya si Alin yang lagi kesel gitu? Bisa-bisa elo ditinggalin sama dia baru tahu rasa."

"Nggak akan mungkin Bel."

.... .... ....

Alin memandang laki-laki yang kini duduk di hadapannya. Ini bukan mimpi kan? Ada urusan apa lelaki ini mendatanginya di rumah? Apa ada urusan yang genting mengenai pekerjaan hingga dia menyambangi alin di sabtu pagi seperti ini. Jika memang ia, Alin tidak bisa menolak.

"Maaf Pak, ada apa ya? Apa ada urusan mengenai pekerjaan?" Tanya Alin sopan.

"Tidak!" Jawabannya singkat.

Kening Alin berkerut."Lalu? Apa yang membuat bapak datang ke rumah saya?" Tanya Alin hati-hati. Takut jika perkataan nya ini akan menyinggung bos nya.

"Apa saya tidak boleh datang ke rumah kamu?"

"Bu... Bukan gitu Pak. Bapak boleh kok ke sini kapan aja Bapak mau." Alin merinding tidak enak hati.

Keduanya terdiam sesaat. Hingga Arya kembali bersuara. Tangan Alin saling meremas di atas pangkuannya. Sekarang ini ia merasa gugup.
Bingung karena terus-menerus saling diam akhirnya Alin membuka suara.

" Em Pak... Gimana kabar Marsya?"

"Dia baik."

"Oh syukurlah." Alin melirik Arya. Lelaki itu menatap lurus ke depan. Ke arah jalan raya yang mulai ramai dilalui para pengguna jalan. Keduanya saat ini duduk di teras rumah. Bukannya tidak sopan terhadap Arya tapi ada alasan mengapa Alin melakukan hal demikian. Di rumah hanya ada Alin.

Alasan kenapa Alin bertanya tentang Marsya itu karena beberapa hari ini ia memang tidak bertemu dengan gadis kecil itu. Alin tidak di beri tugas menjemput Marsya lagi. Marsya juga jarang sekali diajak ke kantor.

Alin menghembuskan nafas pelan. Ia bingung sebenarnya apa yang membuat Arya datang ke rumahnya? Seharusnya jika ada hal penting lebih baik segera di bicarakan tidak seperti ini. Mereka saling diam hingga membuat Alin hanya bisa menerka-nerka.

"Pak_"

"Hari ini kamu tidak ada kegiatan kan?"

Ucapan Alin terpotong dengan kalimat yang terucap dari bibir Arya.
Alin ingin menggeleng tapi akhirnya ia memilih mengangguk.

"Kalaupun kamu ada kegiatan, apapun itu, batalkan. Kamu harus ikut saya."

"Tapi pak_,"

"Kamu tau kan. Apa yang tidak saya sukai?"
Alin mendengus. Ia sangat tahu bagaimana sifat lelaki di depannya ini. Arya paling tidak suka dibantah. Tidak suka dengan penolakan dan paling anti dengan kata tidak.

"Segeralah bersiap. Saya tunggu."

"Saya harus_,"

" Saya sudah meminta izin pada Abang mu dan Ibu mu. Jika itu yang ingin kamu katakan."

"Bapak bohong?" Tuduh Alin.

"Untuk apa saya bercanda? Cepat bersiap. Saya tidak punya banyak waktu."

"Ya sudah Bapak pergi sendiri saja." Entah dapat keberanian darimana Alin berucap seperti itu. Biasanya ia akan selalu menurut saja apa kata bosnya.

"Oke. Rupanya kamu mau menguji kesabaran saya."
Arya berdiri. Alin yang mengalihkan pandangan nya pada objek lain kaget saat tiba-tiba Arya menarik tangannya hingga membuat Alin berdiri. Alin langsung diseret Arya menuju mobilnya. Tentu saja hal itu membuat Alin panik.

"Pak... Bapak mau bawa saya kemana? Jangan macam-macam ya Pak. Saya bisa teriak."
Arya tidak menghiraukan apa yang di ucapkan Alin. Ia terus memaksa gadis itu sampai kini duduk manis di samping kemudi.

" Pak! Bapak mau bawa saya kemana? Saya harus bilang dulu sama Abang dan Ibu saya Pak."

"Abang dan Ibu mu mengizinkan."

"Bapak bohong. Saya nggak percaya."

Sebelum melajukan mobilnya, Arya terlebih dulu melakukan menelpon Raka untuk meyakinkan Alin.

"Halo. Kenapa?" Alin sangat kenal pemilik suara itu.

"Adik lo gue bawa."

"Oke. Hati-hati. Titip Adek gue."

"Hm." Panggilan terputus. Arya mulai melakukan mobilnya tapi Alin keburu melarangnya dan membuat Arya kesal.

" Kenapa lagi?"

"Saya belum kunci pintu. Saya mau siap-siap juga."

"Saya beri waktu 3 menit untuk mengunci pintu."

"Saya harus bersiap-siap juga Pak."

"Tidak perlu."

"Tapi Pak_,"

"3 menit mulai berjalan."

Alin keluar dari mobil dengan mendumel tidak jelas. Ia berlari masuk ke dalam rumah. Hal yang ia tuju pertama kali adalah kamar. Bukan untuk bersiap-siap. Ia hanya mengambil tas dan HP.
Ia sudah tidak peduli dengan penampilannya yang kelewat sederhana. Rambut yang di cepol asal. Baju terusan motif bunga-bunga dan sepatu flatshoes.
Sesudah mengunci pintu Alin bergegas menghampiri Arya di dalam mobilnya.
Tatapan tajam yang di terima Alin saat pertama kali membuka pintu mobil.

"Kamu telat 30 detik. Siap-siap dengan hukuman yang akan saya berikan." Ucap Arya tersenyum devil.

"Pak! Ini bukan kesalahan soal pekerjaan. Nggak seharusnya dong Bapak menghukum saya!" Ucap Alin tidak terima.

"Terserah saya. Bagi saya kamu tetap melakukan kesalahan."

Huh. Alin memukul tasnya yang jelas tidak memiliki kesalahan. Ia sangat kesal. Rasanya lelah jika harus berdebat dengan Arya.

Alin tidak perduli akan di bawa kemana. Ingin bertanya terlalu malas ia lakukan. Daripada darah tinggi karena mengobrol dengan Arya lebih baik ia diam.

"Ayo turun. Kita sudah sampai."

Tanpa berkata-kata Alin menuruti keinginan bosnya.
Sampai di dalam tempat yang mereka tuju yang ternyata adalah sebuah butik, Alin diminta untuk mencari pakaian dengan nuansa biru. 3 helai pakaian sudah ada di tangan Alin. Dress selutut dengan model Sabrina, baju anak perempuan dan satu kemeja laki-laki tanpa kerah.

"Ini pak sudah." Ucap Alin malas.

Arya melihat dengan seksama yang menjadi pilihan Alin. Arya tersenyum saat melihat dress yang Alin pilih.

"Pasti akan sangat cantik."

Double JobsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang