50. Arti Merelakan

5.9K 556 688
                                    

JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT DIBAWAH KARNA GRATIS!! JAN JADI SIDER PLEASE ANG JUGA BUTUH SEMANGAT!!

Selamat membaca

***

"Aku nggak akan nangis lagi, jadi kak Rayyan boleh pergi." Kalimat itu terdengar seperti perintah ditelinga laki-laki itu.

"Nggak!"

Sinta mendengus kesal, apa yang diharapkan oleh Rayyan sebenarnya? Sinta menangis lalu meminjam pundaknya begitu? Mustahil, atau mungkin tidak akan pernah terjadi. Jika diibaratkan air mata Sinta sudah habis tak bersisa.

"Hidup lo sendiri gelap, tapi kenapa mau jadi matahari buat orang lain?" Rayyan memulai pembicaraan, Sinta menegakkan badannya sedikit menoleh pada Rayyan. "Iya, tapi bukan berarti aku nggak bisa jadi sinar untuk orang lain kan?" Ia balik bertanya.

Rayyan hanya diam, menunggu gadis itu mengeluarkan semua isi hatinya. Paling tidak hanya ini yang bisa dilakukannya sekarang.

"Dulu Bunda selalu bilang, Hidup itu soal pilihan, pertahankan yang menurut kamu baik. Dan lepaskan yang menurut kamu buruk. Tapi malah bunda sendiri yang salah pilih keputusan." Sinta menuturkan kalimat itu disertai kekehan miris.

"Jadi bokap—" Rayyan mengatupkan mulutnya, merutuki kebodohannya membahas hal sensitive seperti itu.

"Kalau soal ayah, aku pilih buat melepaskan. Bukan karena ayah itu buruk, tapi memang harus begini jalannya." Ujarnya setenang mungkin.

Rayyan heran, mengapa gadis disampingnya ini bisa sekuat ini? Menanggung rasa sakit sebesar itu sendirian, bahkan bertahun-tahun lamanya.

Rayyan menepuk pundak gadis itu dua kali, "Gue nggak pernah hibur cewek galau."

Tawa Sinta menguar rendah, wajah Rayyan malah semakin datar jadinya. Memang apa yang lucu? Laki-laki itu kan tidak pernah berhubungan dengan cewek manapun. At this moment he knew. Damn it!

"Lucu?" Rayyan menyarkas, membuat gadis itu mau tak mau menghentikan tawanya lalu menggeleng cepat. Suasana kembali hening, lalu setelahnya Sinta melontarkan pertanyaan yang terkesan menyindir Rayyan.

"Kak Rayyan tau nggak level tertinggi dari mencintai?" Respon Rayyan jelas menggeleng, dia saja belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Gila aja.

"Merelakan, dan membiarkan dia memilih dengan siapa ia ingin bahagia." Meskipun begitu, tatapan Sinta seakan mengisyaratkan bahwa sangat berat untuk menerima semuanya.

"Aku bukan Bunda yang punya hati terlalu lapang untuk memaklumi sikap ayah dan bertahan dihungangan yang nggak sehat."

"Lo nggak benci bokap lo?" Rayyan bertanya pelan.

Sinta segera menggeleng, "Sejahat apapun ayah, seburuk apapun kenangan yang ayah kasih, aku nggak akan bisa benci. Aku sayang sama ayah sampai dititik dimana aku nggak tau gimana caranya untuk berhenti."

"Seperti itu ibaratnya posisi aku sekarang." Sambungnya lagi.

Keadaan kembali hening, Sinta yang menikmati hilir-semilir angin yang menyapu wajahnya. Sedangkan Rayyan? Dia juga bingung harus merespon apa lagi. Atau emang dasarnya dia males ngomong? Kita nggak bakal paham isi hati es batu.

ARJUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang