68. Ego dan Hati

4.1K 387 155
                                    

JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT DIBAWAH KARNA GRATIS!! JAN JADI SIDER PLEASE ANG JUGA BUTUH SEMANGAT!!

Selamat membaca


***

Tatapan Ganis berpendar rapuh dan kosong, seketika dunianya terasa runtuh atas berita yang masuk dalam pendengarannya. Kepalanya menggeleng lirih, tidak, Abangnya tidak akan dengan tega meninggalkannya dengan cara seperti ini.

"Enggak— enggak mungkin," Nada suaranya terdengar putus asa.

Ganis melepas rengkuhan Sadewa, berjalan dengan langkah terseok kearah dokter yang menangani Nakula. Ganis bersimpuh dilantai sembari menggenggam tangan sang dokter. Air matanya kembali meluruh seiring dengan isak tangis yang keluar dari bibirnya.

"Saya mohon dokter, bilang kalau semua itu nggak bener. Saya mohon...."  kemudian Ganis langsung berdiri. "Ambil apapun yang saya punya, untuk menyelamatkan kakak saya. Ambil dok tolong ...."

Dokter itu tidak memberi respon apapun, hanya diam dan mendengarkan setiap kata yang gadis didepannya ini ucapkan.

"SAYA BILANG AMBIL DOKTER!!" Ganis menjerit frustasi sambil mencengkeram jas depan sang dokter. "Tolongin kakak saya dokter, saya mohon ......"

Sadewa menarik tubuh Ganis dalam rengkuhannya. Hatinya hancur. Kehilangan Nakula sama saja seperti kehilangan separuh jiwanya sendiri. "Ganis jangan begini. Abang sakit dek liatnya." Ia juga tidak mampu menahan tangisnya lagi agar terlihat kuat.

Ganis meraung dalam pelukan Sadewa, mengeratkan cengkramannya pada jaket kulit abangnya dengan kuat.

"Balikin bang Nakula, aku gamau ditinggal kayak gini. Bang Nakula udah janji gaakan bikin aku sedih. Tapi dia bohong." Ganis bertutur susah payah dengan nafas tersendat.

Opal yang berada tak jauh dari Ganis mengepalkan tangan kuat, berjalan tergesa dan mencengkeram kerah sang dokter. "Jangan ngomong macem-macem! Nakula masih hidup."

Nafas laki-laki itu yang memburu tajam, "CEPET MASUK MASUK DAN TOLONGIN TEMEN GUE BANGSAT!!"

Sang Dokter itu hanya bisa bersabar, mengerti akan kabar duka yang ia sampaikan teramat menyakiti mereka semua. Dengan perlahan ia menepuk tangan Opal yang hampir mencekik lehernya. "Mohon maaf, kami sudah melakukan yang terbaik untuk pasien. Tapi segalanya ada dalam campur tangan tuhan. Saya harap kalian bisa ikhlas dan mendoakan yang terbaik untuk saudara Nakula."

"GUE NGGAK MAU DENGER OMONG KOSONG LO! MASUK LAGI DAN BAWA TEMEN GUE BALIK!" Tekannya lagi dengan mengeratkan cengkramannya.

Dengan sabar, dokter itu melepaskan cengkraman Opal dari kerah snelinya. "Maaf, kami tidak bisa bertindak diluar kemampuan kami." Balasnya sesopan mungkin.

Berhasil menurunkan tangan Opal dari jas putihnya ia berucap "Saya permisi." Setelah itu ia bersama suster tersebut meninggalkan mereka yang masih terpaku ditempat masing-masing.

Pandangan Opal mengabur sebab terhalang oleh genangan air yang menumpuk dipelupuk matanya, "Nggak, Nakul nggak mati. Dia cuma tiduran doang." Setetes air matanya jatuh kelantai.

Ia menoleh kesekelilingnya, memperhatikan wajah mereka. Terutama Amora. Kekasih Nakula. Gadis itu benar-benar terlihat sangat kacau dipelukan laki-laki yang ia ketahui bernama Bima. Lalu ia memandang seluruh inti Rajawali, ia melihat Rayyan yang bersandar pada tembok disamping Kursi tunggu.

Opal menghampiri Rayyan dengan tergesa, "Yan, bilang ke gue. Bilang kalau ini bohong. Nakula cuma nge prank kita semua 'kan. Iya 'kan?"

Rayyan menegakkan tubuhnya, menatap Opal dengan pandangan dingin. Lalu menggeleng.

ARJUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang