49. Bukan Akhir

6.1K 611 287
                                    

JANGAN LUPA VOTE AND COMMENT DIBAWAH KARNA GRATIS!! JAN JADI SIDER PLEASE ANG JUGA BUTUH SEMANGAT!!

Selamat membaca


***

Suasana Aula semakin terasa panas, padahal tersedia pendingin ruangan yang terpasang disetiap sisi ruangan, aura yang dipancarkan murid kelas 11 Mipa2 bahkan lebih mendominasi ruangan itu. Komite, Kepala sekolah, bahkan para Staf Guru hanya bisa terdiam.


TRING!

Dering ponsel Lily berbunyi menandakan adanya pesan masuk, gadis itu segera membuka pesan tersebut. Lily menampilkan senyum puas atas pesan yang diterimanya.

"Great job, Lily!" Gadis itu bergumam senang, "Ternyata selain cantik, gue berbakat juga jadi intel." Lalu terkikik geli karena ucapannya sendiri.

Mematikan ponselnya lalu segera memberi kode pada Kevin lewat suara batuk sebanyak tiga kali, laki-laki sadar jika ini saatnya dia beraksi. Kevin mengangkat tangan keudara, "Maaf pak, saya boleh ijin kebelakang?"

Pak Bandi menoleh pada Kepala Sekolah seolah meminta persetujuan dan dibalas anggukan sekali. "Silahkan, Kevin. Segera kembali jika sudah selesai."

"Baik, pak." Kevin memundurkan langkahnya setelah itu berbalik meninggalkan ruangan.

Tepat saat kepergiannya, pintu Aula terbuka menunjukkan kedatangan Bintang dan Banu. Saat berpapasan Kevin memberikan kode lewat kedipan mata, hal itu dibalas anggukan pelan oleh Bintang. Serius nanya, Mereka tuh kenapa coba pake bahasa kalbu begitu?

Kedua pria itu langsung ijin masuk kebarisan tepat didepan Ganis dan Hanggini.

Kepala sekolah berdehem cukup keras, tujuannya sih supaya mereka memperhatikan apa yang mau dia sampaikan. "Jadi, sampai kapan kalian akan diam begini? Masalah ini harus segera diselesaikan sekarang juga."

"Baru setelahnya kami akan membahas tentang masalah Sinta yang lainnya," tambahnya lagi.

Hanggini mengepalkan tangannya kuat, apa maksud mereka masalah yang lain?!

Ganis tau gadis itu sebentar lagi akan meledakkan emosinya jika tidak segera ditahan, dibanding yang lainnya memang hanya Hanggini yang kurang bisa mengontrol emosinya jika bersangkutan dengan Sinta.

Memberikan dua kali tepukan ringan dibahu kiri Hanggini, Ganis membisikkan sesuatu. "Kita yang akan menang, Gin. Trust me!"

Sedangkan Ayah Sinta terus menatap tajam putri kandungnya itu, sial! Amarahnya pasti akan meledak sebentar lagi. Terlebih wajah Sinta dan mendiang istrinya sangat mirip, hal itu semakin menyulut emosi Dandi.

Setelah meyakinkan dirinya, Sinta berdiri dari tempatnya manatap satu persatu dewan komite serta menyorot manik ayahnya dengan dingin. "Saya Sinta maharani, bersaksi bahwa saya bukan orang yang mengusulkan ide itu. Dan saya tidak pernah melakukan perundungan terhadap siapapun!"

Gadis itu dengan tegas mengucapkan kesaksiannya, bahkan ia tidak menyebutkan nama Sotopo sebagai nama marganya. Hanya Maharani, nama mendiang sang ibu.

"Apa bukti yang bisa kamu tunjukkan? Sebagai bahan pertimbangan untuk kami," Tanya salah satu dewan komite membuat gadis itu semakin menampilkan wajah dinginnya, "Bukannya kalian menuduh saya tanpa adanya bukti dan pertimbangan? Lalu kenapa saya harus menunjukkan bukti untuk membuat kalian percaya?" Sinta bertanya balik.

"Membanggakan bukti hanya dari satu mulut, apa menurut kalian itu pantas dijadikan pertimbangan untuk menghukum saya? kalian juga enggan mendengarkan kesaksian kami yang kalian sebut tersangka. Sangat adil bukan." Sarkasnya.

ARJUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang