BPI [21]

1.9K 150 9
                                    

Berusaha keras Rara meredam tangisnya. Namun, air matanya seolah hujan di bulan Januari yang tak pernah mau berhenti, bahkan saat banjir mulai menggenangi di setiap sudut jalan tak bertepi. Dia mengingat saat pagi kemarin hatinya masih penuh dengan bunga bermekaran, sangat jauh dengan perasaannya di pagi ini. Dunia seolah rapuh lalu runtuh memporak-porandakan kemegahannya. Bahagianya bagai pohon tumbang yang akarnya tercabut paksa oleh badai.

Impian tentang indahnya pernikahan, hancur seketika. Bayangan canda tawanya lenyap, melebur dalam kegelapan, setelah semalam Shaka menggaulinya dengan kasar. Bukan sebagai istri, tapi hanya sebagai wanita pemuas nafsu. Ternyata tak pernah ada cinta, hanya ada kebencian yang Shaka simpan di hatinya untuk Rara.

Tuduhan dirinya sebagai penyebab kematian Syilla, masih keras berdengung di telinga. "Aku tak pernah mencintaimu. Aku justru sangat membencimu, Ra. Kamu penyebab kematian Syilla. Iya, kamulah penyebabnya."

Dengan tangan bergetar, berulangkali Rara menghapus air mata yang menggalir menggunakan punggung tangannya. Namun, nyatanya semakin diusap, bulir bening itu justru semakin menganak sungai. Jantungnya berdenyut pedih, perih rasa tersayat-sayat.

"Dia menikahiku hanya untuk membalas dendam dan membuatku merasa sakit." Kalimat itu memenuhi pikiran Rara. Seolah buih di lautan luas yang tak akan habis walaupun hawa panas mengisap uapnya ke udara.

Perlahan Rara bangkit dari ranjang. Tubuhnya terasa remuk redam. Namun, itu tak seberapa dibandingkan luka hatinya yang bernanah. Tertatih Rara melangkah menuju ke kamar mandi.

Dari pantulan cermin yang terdapat di kamar mandi, Rara dapat melihat beberapa bagian di kulit putihnya ternoda memar kebiruan. Ada juga jejak cakaran dan tancapan keras kuku Shaka di bagian punggungnya. Di bawah shower, dibiarkannya tubuh penuh luka itu menganga perih dalam guyuran air.

Selesai mandi dan berwudhu Rara menenangkan diri dengan berlama-lama sujud dalam salat Subuhnya. Selesai salat, Rara mencoba memejamkan mata yang sejak semalam tak juga bisa terlelap. Rara kembali meringkuk di atas ranjang, bergelung dibalik selimutnya. Tak dihiraukannya haus dan lapar yang mulai dirasakan. Dia hanya ingin tidur dan berharap kesedihan ini hanyalah mimpi buruk sesaat.

Dibiarkannya tirai-tirai kamar tetap tertutup rapat dan pintu tetap terkunci. Toh, dia yakin Shaka tak akan mencarinya setelah semalam dia pergi begitu saja. Pergi setelah melampiaskan rasa marahnya dengan merenggut kasar mahkota Rara sebagai wanita. Walaupun hal itu kini menjadi hak Shaka yang berstatuskan sebagai suaminya.

* * *

Tok tok tok ...!

Berulangkali terdengar suara pintu diketuk. Ingin rasanya Rara bangkit, tapi kepalanya begitu sakit. Oh ... tidak, lebih tepatnya sekujur tubuhnya terasa sakit dan lemas. Tak sabar menunggu, akhirnya pintu terbuka dari arah luar. Mbok Galuh membuka pintu itu menggunakan kunci cadangan.

"Ya Allah, Dayu sakit? Badan Dayu Rara panas sekali," ucap Mbok Galuh setelah mendekati Rara yang masih bergelung di balik selimut tebalnya. Padahal sekujur tubuhnya sudah basah oleh keringat dingin.

Mbok Galuh segera menelpon seseorang dan tidak lama seorang dokter perempuan yang dipanggil dokter Rahayu, memeriksa kondisi Rara. Dia memberikan resep obat, yang oleh bli Surya langsung dibeli di apotek. Sementara itu mbok Galuh segera membuatkan makanan bertekstur halus untuk Rara. Setelah makan dan meminum obatnya dengan bantuan mbok Galuh, Rara kembali tertidur. Rara dibangunkan hanya saat waktu salat.

Sementara Rara sedang merasakan sakit fisik dan hati, Shaka justru tak ada di rumah itu seharian. Entah kemana dia pergi. Namun, Rara merasa itu lebih baik. Dia belum sanggup untuk kembali bertatap muka dengan  Shaka.

Esok hari Rara merasa tubuhnya sudah mulai pulih. Keluar dari kamar, dia bertanya tentang keberadaan Shaka.

"Mbok, Mas Shaka di mana? Apa semalam pulang ke rumah?"

Seharusnya dia malu menanyakan tentang suaminya kepada orang lain. Namun, Rara berusaha mengenyahkan itu. Masih ada cinta dan perhatian yang menempati sudut hatinya.

"Den Shaka semalam pulang, tapi sudah lewat tengah malam. Lalu tadi pagi-pagi sekali Den Shaka keluar memakai pakaian training, mungkin sedang jogging di sekitar sini, Dayu."

"Ow ... baiklah, makasih, Mbok."

Rara bernapas lega, Shaka tidak pergi meninggalkannya sendirian di sini. Tempat yang masih asing baginya, walaupun ini merupakan rumah keluarga mereka. Rara lalu menikmati sarapannya sendirian. Mbok Galuh membuatkan bubur kacang hijau yang dinikmatinya bersama roti tawar.

Selesai sarapan, ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari sang bunda.

"Alhamdulillah, Rara dan Shaka baik, Bun," jawab Rara saat bunda menanyakan kondisinya.

"Alhamdulillah. Bunda cemas, sejak kemarin perasaan bunda nggak enak, Sayang. Baguslah kalau kalian baik-baik saja. Shaka mana? Bunda mau bicara sama Shaka." Mendengar penuturan Milea di telepon, rasanya Rara ingin kembali menangis. Mengadukan pedih hatinya kepada sang bunda, tapi dia tak bisa.

"Shaka masih jogging, Bun, belum balik ke rumah."

"Oh ... kamu nggak ikut jogging bareng dia? Kamu kan suka jogging juga."

"Nggak, Bun. Rara capek, pengin di rumah aja."

"Oh ... capek ya?" tanya sang bunda terdengar seperti menggodanya. "Ngapain aja setiap malam sama Shaka? Sampe kamu pagi-pagi udah capek."

Rara tersenyum miris, semua orang salah menilai hubungan ini. Bahkan Rara yang menjalani saja juga salah mengerti. Hubungan dirinya dan Shaka hanyalah sebuah kedustaan.

"Hehehe ... kamu nggak perlu cerita kalau malu. Bunda tahu kok, kan bunda juga pernah jadi pengantin baru." Rara mendengar tawa bahagia di seberang telepon. Dia tidak akan pernah tega untuk merusak kebahagiaan itu. "Ya udah, bunda tutup dulu teleponnya. Have fun, Honey. Salam sayang dari bunda dan ayah untuk Shaka. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, Bun."

Rara segera memutus panggilan telepon itu. Dia takut isakan yang ditahannya akan terdengar oleh sang bunda. Biarlah dia simpan perih ini sendiri. Keluarga mereka tidak perlu tahu. Dia akan berusaha menghapus benci dalam hati suaminya menjadi cinta.

Mencintaimu, ternyata tak hanya butuh tawa, tapi juga butuh air mata.

Mengenalmu ternyata bukan hanya ada cinta, tapi juga ada benci.

Ya Allah, kuatkan hamba sebagai istri. Tuntunlah hati mas Shaka untuk menpercayai hamba. Kita sama-sama terluka atas meninggalnya Syilla. Semoga kelak benci itu dapat terganti menjadi cinta, aamiin.

Ditutupnya aplikasi buku diary itu. Tempat Rara biasa mencurahkan perasaan yang tak bisa diucapkannya dengan lisan. Percayalah padaku, Mas.

.
.

Alhamdulillah, BPI update.

Ada yang menunggu-nunggu Rara dan Shaka update nggak nich? 😄

Semoga kalian suka 😍

Jangan lupa tinggalkan jejak
Follow, Vote & Komentar yach
Biar author tambah semangat
😘😙😘

😀 Terima kasih 😁

IG: @Oliphiana_lia

Tegal, 28012021

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang