BPI [29]

1.8K 147 8
                                    

Jika Rasulullah SAW memiliki Aisyah sebagai Humaira-nya, maka Shaka merasa Rara ibarat sang wanita kemerah-merahan miliknya. Kecantikannya merupakan anugerah Tuhan yang diturunkan melalui gen ibu kandungnya. Beberapa detik mengagumi keindahan yang tersuguh di dekatnya, Shaka tersadar. Tidak seharusnya dia jatuh hati kepada seseorang yang menjadi penyebab kematian sang adik.

Segera, ditariknya sebelah tangan yang sempat menikmati halus kulit milik Rara. Shaka berdehem, lalu kembali memfokuskan pandangannya ke arah depan. Pendapatnya belum berubah dan keselamatannya lebih penting, walau sesaat Rara seperti opium baginya.

Kecepatan mobil yang melaju kencang tanpa hambatan berarti, membuat mereka bisa lekas sampai. Sebuah Hotel Convention & Resort milik sang klien dijadikannya sebagai lokasi rapat. Kliennya kali ini adalah orang lama dan merupakan sahabatnya sendiri. Selain urusan properti yang saat ini sedang dipercayakan kepadanya, Shaka juga akan melobi sahabatnya menjadi investor perusahaan arsitektur rintisannya. Rencananya, tiga bulan ke depan, dia akan mulai fokus di sana dan melepaskan pekerjaan di tempat lamanya.

"Ini kunci kamar kita, istirahatlah. Selesai aku rapat, kita baru cari keperluan pribadimu." Rara menerima kunci tersebut dan segera beranjak setelah Shaka juga telah berjalan menuju tujuannya.

Dari balkon kamar, penglihatan Rara dimanjakan oleh pemandangan hijau nan asri yang luas membentang. Udara sejuk pegunungan, nyatanya bagai bius yang sanggup membuatnya segera terserang kantuk. Padahal Rara jarang tidur siang, karena pasti ada saja kegiatan yang dikejakannya di resto. Entah memeriksa laporan dari para manager resto cabang ataupun berhubungan dengan klien. Sesekali dia juga akan berkeliling mengontrol langsung cabang restoran lain guna meringankan tugas sang ayah.

Mengambil posisi nyaman, Rara membaringkan tubuhnya di atas ranjang king size yang terdapat di sana. Berdoa, lalu memejamkan matanya, mengukir mimpi indahnya.

Tepat dua puluh menit sebelum azan Asar berkumandang, Rara bangun. Masih hanya sendiri di kamar itu. Dilangkahkan kakinya menuju musala yang tadi dilihatnya saat menuju ke kamar. Mengambil air wudhu, lalu memakai mukena miliknya yang selalu dibawa kemana pun dia pergi. Selain dompet dan ponsel, Rara memiliki kebiasaan membawa mukena dan Al Quran di dalam tas kulit miliknya.

Tidak disangka, Shaka yang menjadi imam salat Asar sore itu. Rara terlalu hafal suara milik laki-laki cinta pertama yang telah disukainya sejak lama. Herannya rasa itu tak kadarluasa. Mungkin cintanya ibarat wine, semakin lama justru semakin nikmat dan bernilai tinggi. Walau tak bisa dibohongi, ada luka yang berusaha diabaikan.

"Ka, bukannya itu istri, lo?" tanya seorang laki-laki seumuran suaminya yang tidak Rara kenali.

"Assalamu'alaikum, ini Rara ya? Istri Shaka?" tanya sang lelaki tak sabar melihat Shaka yang enggan menjawab pertanyaan mudah itu.

"Wa'alaikumsalam, iya. Maaf anda rekan kerja suami saya?" balas Rara sesopan mungkin.

"Nggak usah terlalu formal begitu. Aku dan Shaka selain rekan kerja juga partner hangout, bolos, sampe tawuran bareng pas masa SMA."

Wow, fakta yang baru Rara tahu. Suaminya ternyata bukan laki-laki yang hidupnya terus lurus tanpa belokan. Dia layaknya remaja lain yang pernah bolos bahkan tawuran.

Sementara Rara masih terkejut, Shaka justru mendengus kesal. Dia memiliki sahabat yang rasanya seperti musuh, suka membeberkan aib-aibnya.

"Oh iya, kenalkan namaku Jamal Tanutama. Jangan panggil aku Jam, karena aku bukan benda mati. Jangan juga panggil aku Amal, karena aku makhluk Tuhan yang dianugerahi ketampanan maksimal, bukan amal perbuatan. Jadi, cukup panggil saja dengan Je atau Jeje!" cerocos Jamal Tanutama alias Jeje membuat Rara bersusah payah menahan tawanya.

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang