BPI [62]

2K 157 35
                                    

Shaka:
Ada acara apa di resto? Kamu lembur, Ra? Aku tunggu kamu di luar ya.

Shaka:
Aku gak maksa, kalo kamu masih belum mau ketemu. Tapi aku bakal tetep tunggu buat mastiin kamu baik-baik aja.

Shaka:
Ini sudah larut, Ra. Kenapa belum turun juga?

Shaka:
Aku liat kamu. Aku ikutin mobil kamu dari belakang ya. Aku jagain kamu, selamat sampe ke rumah.

Selepas azan isya berkumandang, rentetan pesan dari Shaka mampir ke ponselnya. Rara mengabaikan. Takut jika bertemu Shaka, hatinya akan kembali goyah. Dia sadar belum sekuat itu untuk lepas dari seorang Arshaka Hamizan Erlangga. Namun, hatinya telah mantap memilih. Dia tak akan mundur lagi. Hanya tinggal satu kali persidangan lagi, maka ikatan yang pernah mereka jalin akan lepas secara agama dan hukum.

Tepat ketika lampu lalu lintas menyala merah, Rara melirik ke belakangnya. Mobil Shaka masih setia mengikutinya. Sebenarnya bukan hanya malam ini, malam-malam sebelumnya pun lelaki itu berusaha membuka komunikasi dengannya. Mengikuti mobilnya hingga sampai di depan gerbang rumah, lalu pergi tanpa berusaha memaksanya bertemu.

"Wah ... so sweet! Beli Edelwis dari mana, Ra?"

Keesokan harinya, Maisha yang katanya libur datang pagi-pagi dengan alasan ingin mengganggunya. Sungguh kurang kerjaan. Setelah bekerja di klinik, Maisha masih saja punya hari libur di tengah weekdays untuk mengganggunya.

"Dapet dikasih," jawab Rara singkat, sambil maniknya fokus menatap laptop.

Ini awal bulan dan ia sedang mengecek laporan dari para manajer cabang restonya. Minggu depan ia berencana keliling untuk mengecek langsung ke lokasi.

"Dari siapa? Kak Shaka ya?"

Tebakan yang tepat. Tanpa Rara menjawab, diamnya bahkan seolah jawaban. Itu yang Maisha tangkap.

"Jangan-jangan coklat dan permen ini juga dari Kak Shaka," ujar Maisha sambil mencomot sebuah coklat di atas meja dan membuka bungkusnya.

"Iya." Kali ini Rara menjawab. Toh, ia merasa tak perlu menutupi apa pun. Maisha sudah tahu betapa gencar calon mantan suaminya itu mendekatinya. Maisha lah, tempat Rara membuang segala unek-uneknya.

"Lo ikut makan?"

"Iya, lagian enak. Mubazir 'kan kalo aku buang."

Maisha menyemburkan tawa. "Lo cuekin orangnya, tapi jajan dan bunganya lo embat juga. Baguuus, Ra."

Rara hanya melirik. Membiarkan Maisha menertawakannya sesuka hati. Ia tak ingin menyangkal. Toh, memang kenyataanya seperti itu.

"Kapan lagi sidang perceraiannya berlangsung?"

"Tiga hari lagi. Kamu mau dateng, Sha?"

"Aku usahain."

Hari itu, Maisha benar-benar melakukan ucapannya. Mengganggu Rara. Mengekorinya ke mana pun Rara pergi, bahkan saat sahabatnya itu ada pertemuan dengan klien di luar, Maisha ikut dengannya. Baru menjelang Maghrib, Maisha pamit pulang. Para keponakannya main ke rumah, dan ia tak ingin kehilangan kesempatan untuk menjahili mereka.

Rara geleng-geleng kepala mengetahui niat absurd sabahatnya itu. Entah sedang patah hati dengan siapa, hingga tingkah lakunya sungguh ajaib beberapa hari ini.

Setelah lembur beberapa hari kemarin, malam ini Rara ingin pulang cepat. Ia rindu makan malam bersama keluarganya. Dan saat mengecek ponsel, kembali ia mendapati pesan dari Shaka.

Shaka:
Ra, lembur lagi gak? Aku dah di depan. Tapi, kalo kamu masih ada kerjaan, gpp. Aku tungguin kamu.

Rara mendesah pelan. Jika saja Shaka semanis ini sejak awal pernikahan mereka, mungkin dirinya akan semkin luluh. Dia akan menjadi wanita paling bahagia. Namun, sekarang nyatanya dia merasa menjelma wanita jahat. Seperti istri dalam sinetron televisi yang menyiksa suaminya sebelum melepasnya.

Menyerah. Rara tak ingin lagi peduli. Selepas sholat maghrib di ruangannya, Rara menyambar tas yang berada di sofa. Dia segera melangkah turun ke parkiran. Seperti biasanya, mobil Shaka masih setia menunggunya pulang. Rara bergegas memasuki kendaraannya dan melaju pergi.

Entah sampai kapan, Shaka akan terus seperti itu. Rara, tak tahu. Ia bertanya-tanya dalam hati, "Kapan Shaka akan berhenti mengejarnya? Akankah saat perceraian telah diputuskan, ia akan segera berhenti?" Entah, Rara tak tahu dan sulit baginya untuk menerka-nerka.

Shaka:
Aku mengikutimu dari belakang.

Rara mematikan ponselnya, lalu menaruh ke dalam tas. Bukan ingin menghindar, tapi memang baterai ponselnya telah menyalakan peringatan habis.

Tiba-tiba berubah pikiran, Rara pun melajukan kendaraannya ke sebuah taman yang terletak tak jauh dari rumahnya. Begitu sampai, hanya sedikit orang yang berlalu lalang di sana. Para pasangan kekasih yang duduk berduaan sambil mengobrol. Setelah melewati jembatan kecil, Rara pun ikut duduk di salah satu bangku kayu panjang yang kosong. Sengaja ia mencari tempat yang terang, tepat di sebelah lampu bulat taman yang menyala.

Malam itu, angin bertiup cukup kencang, membuat udara terasa lebih dingin. Sebuah jaket dengan aroma yang familiar, berlabuh di pundaknya. Tak perlu menengok, dia telah tahu siapa yang mengikutinya hingga ke tempat ini.

"Kenapa gak pake jaket? Udaranya dingin, Ra."

"Gak bawa."

Hening kembali tercipta. Pandangan keduanya masih lurus ke depan, dan belum saling bertemu. Dalam jeda yang dirasa cukup untuk memberinya kekuatan, Rara pun berujar, "Berhentilah!"

Shaka menoleh, memandang sesaat lalu tersenyum getir. "Apa itu membuatmu bahagia?"

"Iya." Ada jeda waktu yang tercipta, karena Rara tak langsung menjawab.

"Baikalah, aku akan berhenti." Shaka menghembuskan napas dengan berat sambil kembali berkata, "Tapi, aku tak bisa membiarkanmu begitu saja. Izinkan aku tetap menjagamu ... dari jauh."

"Terima kasih, tapi aku bisa menjaga diriku sendiri."

"Hubungi aku kapan pun kamu membutuhkanku. Walaupun kelak kita sudah berpisah." Shaka bangkit dari duduknya dan berlalu pergi.

Sementara itu, Rara tetap bergeming di posisinya. Entah sejak kapan, pandangannya terasa mengabur. Dari setetes hingga akhirnya tak lagi mampu membendung air matanya. Rara terisak pilu. Akhirnya semua harus berakhir. Sesuai dengan keteguhan hatinya selama ini.

.
.
.

Alhamdulillah, BPI update kembali.
Ceklis dulu dong, kalian suka tim yang mana, nih:

💜 Happy Ending

💙 Sad Ending

Terima kasih sudah selalu support cerita ini. Jangan lupa selalu tinggalkan jejak kehadiran kalian ya
Selalu vote & komen.

Terima kasih,
Jazakumullah khairan katsir

💕💕💕

Tegal, 200122

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang