BPI [37]

1.8K 138 10
                                    

"Pak, saya mencurigai dalang dari kecelakaan itu adalah rekan kerja Pak Arshaka."

"Bisa beri saya buktinya, Doni?" tanya Shaka tanpa ragu.

Dia tak akan menuduh seseorang tanpa bukti. Seperti dirinya yang selama ini menyalahkan Rara juga dengan bukti. Hal yang dia langsung lihat dengan mata kepalanya sendiri. Sebuah pesan yang masuk di room chat antara adiknya dengan Rara.

Lelaki yang dipanggil Doni itu lalu memaparkan informasi baru yang diperolehnya.

"Saya sudah konfirmasi ke bagian yang terkait. Mobil yang anda tumpangi hari itu seharusnya dipakai oleh rekan kerja anda lainnya. Mereka sudah mem-booking sehari sebelumnya. Tapi, ada seseorang yang menukar mobil MPV itu dengan kendaraan lain. Rekan anda percaya saja dengan alasannya. Lalu dia merekomendasikan mobil itu untuk anda gunakan ke tempat proyek setelah menyabotasenya."

"Siapa dia?"

"Yanuar Hadinata, bagian engineering. Tapi dia telah keluar dari perusahaan seminggu setelah kecalakaan itu terjadi. Saya masih coba menyelidiki keberadaannya hingga kini. Dia telah memboyong keluarganya pindah dari ibu kota."

"Ketentuan resign itu harusnya tidak mendadak.

"Benar. Dia telah mengajukannya sejak tiga bulan sebelum kejadian."

"Artinya rencana ini telah sangat matang direncanakan. Pasti Yanuar hanya perantara. Ada orang lain dibaliknya yang memerintahkan. Orang itu yang mengincar nyawaku. Dia mungkin saja juga berkeliaran di dekatku, tanpa aku ketahui."

"Benar, Pak. Saya akan terus selidiki ini hingga kita dapat menemukan titik terang."

"Baiklah, terima kasih, Doni."

"Sama-sama, Pak Arshaka."

Doni adalah orang yang dipercaya Shaka untuk menyelidiki kasus kecelakaannya. Dia mengenal Doni dari Jeje.

Sebuah fakta baru membuat Shaka lebih waspada kepada orang-orang di sekitarnya. Hati setiap orang tak ada yang tahu, kecuali sang pemilik hati dan Tuhan. Teman dan lawan nyatanya bisa samar dalam pandangan mata.

Sementara Shaka mulai ancang-ancang dengan kewaspadaan penuh dengan kondisi sekitarnya, Rara justru lengah saat mengawasi targetnya. Keberaan Firman tiba-tiba tak terlacak oleh orang suruhan adiknya.

Saat bertemu di sebuah rumah makan, Firman pamit ke toilet. Setelahnya lelaki itu tak juga muncul. Sosoknya lenyap tanpa ada satupun yang menyadari.

"Maaf, Pak. Dia tiba-tiba hilang."

"Mungkinkah dia tahu rencana kita?" tanya Harist.

"Gak. Saya yakin dia belum tahu tentang penjebakan ini."

Harist dan Rara berpikir keras, motif mengilangnya Firman dan tempat tujuannya. Menghampiri ke rumah lelaki itu pun hasilnya sama. Nihil. Keluarganya tak ada yang tahu keberadaan lelaki itu.

Tak ingin kembali lalai dengan satu saksi kuncinya lagi, mereka segera memfokuskan diri pada Gatan. Rara mengintai kegiatan itu dari dalam mobilnya yang terparkir tepat gerbang pekuburan. Sementara Harist, turun dan mengamati dari dekat. Sudah ada Sandy dan Gatan yang sedang berdoa di depan pusara Harjo.

Dari posisinya Rara dapat melihat, raut wajah Sandy yang tampak tegang. Raut terkejut dari wajah Gatan pun, kentara jelas. Dia tau dirinya telah dijebak. Mungkin semua sudah dimulai, pikir Rara.

Tak lama kedua lelaki itu terlihat bersitegang, mereka saling memasang ancang-ancang. Perkelahian jelas tak dapat terelakkan. Harist dan seorang temannya segera keluar dari persembunyian. Ketiganya serentak menghadang Gatan untuk melarikan diri.

Rara meringis sambil memejamkan mata. Kejadian malam itu seolah kembali tampak nyata di pelupuk mata. Beruntung posisinya cukup jauh dari lokasi kejadian, sehingga dia tak perlu mendengar setiap bunyi keras yang timbul akibat perkelahian itu.

Katakanlah Rara pengecut, tapi dia bisa apa. Sebagai wanita, dirinya tak pernah dibekali ilmu bela diri oleh keluarganya. Jadi, menjauh jelas lebih aman daripada jika tiba-tiba dirinya justru menjadi sandra, seperti pada tayangan film yang biasa dilihatnya.

"Aaaa ...!" teriakan kencang milik Gatan menyedot atensi Rara.

Membuka kelopak matanya, Rara melihat tubuh Gatan tersungkur di tanah. Di bawah kuasa Harist, kedua tangannya dipelintir ke belakang. Sandy lalu memborgol tangan itu agar semakin tak berkutik.

"Berhasil, Kak," ucap Harist begitu dia memasuki mobil.

Gatan telah diamankan Sandy dan kedua teman Harist di mobil terpisah. Tidak aman jika membawanya semobil dengan seorang wanita, itulah pendapat yang pernah diungkapkan oleh sang adik, Harist.

"Begitu sampai di tempat yang lebih aman, kita akan mendesaknya untuk berkata sejujur-jujurnya," lanjut Harist membuat Rara menganggukkan kepalanya. Setelah itu mobil mereka segera meluncur menuju tempat yang telah dipersiapkan.

* * *

"Aku dah coba hubungin Harist, Bun. Tapi, hasilnya sama. Ponselnya juga gak aktif."

"Oh ya?! Nanti coba Bunda juga hubungi mereka. Semoga segera ada kabar ya."

"Iya, Bun. Makasih."

"Sama-sama. Kamu sebaiknya jangan terlalu khawatir, insya Allah Harist bisa menjaga Rara dengan baik. Mereka biasa pergi bersama-sama."

Ucapan ibu mertuanya di telepon barusan, terus terngiang dalam benak Shaka. Entah kenapa, tiba-tiba rasa khawatir terhadap Rara begitu kuat menguasai perasaannya. Harusnya dia acuh, tapi ternyata begitu sulit.

Setelah mengecek kembali CCTV rumah dari laptopnya, Shaka tak ingin mengulur lebih banyak waktu. Segera diraihnya kunci mobil yang tergeletak di laci meja kerjanya, lalu dengan langkah lebar dia berjalan ke luar kantor. Tak lagi berkonsentrasi terhadap pekerjaannya, Shaka memutuskan izin setengah hari dari kantor. Beruntung sedang tak ada agenda meeting ataupun target pekerjaan yang mendesak harus dirampungkannya.

Begitu sampai di kediamannya, langkah kakinya segera melesak ke dalam kamar Rara. Shaka berusaha mencari barang apa pun itu yang dapat dijadikan petunjuk atas apa yang baru saja diketahuinya. Tak banyak barang Rara di kamar itu. Mungkin hal ini karena ukuran kamar yang kecil dan juga terbatas.

Maaf, aku telah salah paham. Dan, atas nama Kakakku yang telah meninggal aku pun juga sangat menyesal dan meminta maaf. Terima kasih juga selama ini Kakak sudah peduli. Semoga Kakak selalu bahagia.

- Sandy -

"Sandy," gumam Shaka begitu melihat sebuah kartu ucapan yang tergeletak di bawah kolong ranjang sang istri.

Shaka meremas kartu itu. Setelah sekian lama baru sempat mengecek CCTV, diketahuinya bahwa Rara beberapa kali menerima kiriman bunga. Entah siapa dia. Namun, satu yang pasti diyakini bahwa buka Maisha yang kembali mengirim bunga untuk istrinya. Karena, begitu bunga itu diterima, Rara pasti segera membuangnya di tempat sampah.

Kartu ucapan yang barusan ditemukannya, akhirnya menciptakan asumsi dalam benak Shaka bahwa Sandy-lah sang pengirim bunga itu.

"Beraninya kamu bermain api di belakangku, Ra." Amarah seketika memuncak ke ubun-ubunnya, mengikis rasa khawatir yang beberapa saat lalu menguasainya.

.
.

Alhamdulillah, Shaka & Rara update yach 😄

Ini masih bulan syawal, kan?
Mohon maaf lahir & batin ya.
Semoga ibadah kita di bulan Ramadhan penuh berkah kemarin, diterima Allah swt., aamiin.

Maaf untuk typo dan waktu update yang lama 😊

Semoga kalian suka part ini. Dan, jangan lupa tinggalkan jejak kehadiran dengan Vote & Komentar.

Terima kasih,
Jazakumullah khair 😄😘

Tegal, 18052021

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang