BPI [12]

1.6K 102 8
                                    

Rara melepas apron yang membalut tubuhnya, lalu meletakkannya di hanger. Setelah itu, dia kembali memasuki area dapur. Tangannya mengambil semangkuk sup kimlo yang baru selesai dibuatnya.

"Aku ke ruangan dulu ya, Nin. Kalau nanti chef Juna datang, suruh dia ke ruanganku dulu!"

"Siap, Chef," jawab Nina sambil tangannya sibuk melakukan sentuhan akhir pada sajian makanan atau biasanya dikenal dengan garnishing.

Setelah mendapat jawaban Nina, Rara segera keluar dari area kitchen menuju ke ruanganya di lantai dua. Dia akan mengecek laporan dari beberapa restoran milik keluarganya yang sudah diterimanya melalui email.

Saat matanya sedang fokus ke arah laptop dan tangan kanannya sibuk menyendok sup sedikit demi sedikit ke mulutnya, Rara melihat layar ponselnya menyala. Video call dari seseorang membuat Rara menarik kedua sudut bibirnya, senang.

"Assalamu'alaikum, Ra ... Kangeeen kangeeen kangeeen." Seorang gadis cantik berbalut hijab warna peach tampak tersenyum lebar di layar persegi itu.

"Wa'alaikumsalam, aku juga kangeeen banget sama kamu, Sha."

Nama gadis cantik itu Rumaisha, biasa Rara memanggilnya Maisha. Dulu Maisha adalah tetangga sekaligus teman dari TK sampai SMP-nya, tetapi sudah sekitar lima tahun yang lalu dia pindah, mengikuti orang tuanya yang pindah dinas di luar Jawa.

"Ra, coba tebak aku sekarang lagi di mana?"

Rara mengamati area sekitar Maisha yang tampak di layar ponselnya. Tampak tidak asing. Seketika matanya melebar takjub.

"Lagi GI ya?" tanya Rara antusias, karena setelah kematian Syilla dia merasa begitu sepi. Kabar kepulangan Maisha dua pekan lalu seolah memberi angin segar baginya.

"Yup, betul. Aku dah sampai di Jakarta dari kemarin pagi. Hari ini kita ketemuan, Yuk!" ajak Maisha sama antusiasnya.

"Ayo! Kita mau ketemu di mana?"

"Aku mau ziarah ke makamnya Syilla. Langsung ketemu di makam aja, gimana? Sepulang dari sana baru aku main ke rumah ya. Nginep di sana boleh nggak? Kangen sama Bunda Lea juga."

Rara, Maisha dan Syilla berteman baik. Komunikasi mereka juga masih terjalin sejak kepindahan Maisha. Maisha begitu sedih saat mengetahui kejadian yang menimpa Rara dan Syilla. Apalagi saat dia tahu, Syilla meninggal. Sayangnya, dia belum bisa ikut menghadiri pemakamannya. Dan saat ini keinginanya utamanya adalah ziarah ke makam Syilla.

"Waah ... boleh banget. Ok, kita ketemu di makam, sore ini ya?"

"Ok. Nanti kalau dah mau jalan, kamu ngabari ya!"

"Siap! Sampai ketemu sore nanti. Assalamu'alaikum."

"Okey, Ra. Wa'alaikumsalam."

Begitu panggilan VC-nya selesai, chef Juna masuk ke ruangannya. Rara segera menyelesaikan urusannya di restoran. Dia ingin segera pulang dan bersiap untuk bertemu sahabatnya, Maisha.

Sesuai janjinya, sore ini Rara datang ke makam Syilla. Saat sampai di sana, dia melihat Maisha sudah datang. Wajahnya terlihat sedih saat memandang ke arah makam. Di depan nisan Syilla, mereka berdoa bersama.

Selesai berdoa dan menaruh bunga di atas gundukan makam, mereka lalu berdiri dan pergi dari sana. Mereka pergi ke rumah Rara dengan menggunakan mobil Rara, karena Maisha tidak membawa kendaraan sendiri. Sesampainya di rumah keluarga Rara, kedatangan mereka langsung disambut hangat oleh Milea.

"Assalamu'alaiku ... Bunda, gimana kabarnya? Sha kangen sama Bunda," ucap Maisha sambil berjalan mendekat ke arah Milea.

"Wa'alaikumsalam. Maisha? Waah ... kejutan ini." Milea memeluk Maisha erat dan mencium kedua pipinya. "Alhamdulillah Bunda sehat. Kapan sampai di Jakarta? Kabar orang tua kamu, sehat?"

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang