BPI [26]

1.7K 127 20
                                    

"Gimana hasil pemeriksaannya?"

Saat ini Shaka sedang bersama Nisa di kantin rumah sakit. Shaka baru saja melakukan check up kondisi lukanya pasca kecelakaan.

"Semua udah ok. Jadi, aku dah nggak perlu check up lagi setelah ini," jawab Shaka sambil menyerahkan sebuah paper bag, "ini novel milik kamu. Maaf baru mengembalikan, karena waktu itu aku kehilangan jejak kamu. Sekalinya kita ketemu lagi, aku malah lupa di mana naruhnya."

Mata Nisa tampak berbinar melihat isi bingkisan yang dibawa oleh Shaka, terdapat tiga novel favorinya di dalam sana. "Aku kira kamu gak menyimpannya. Ini udah lama banget, lho, Ka?"

"Itu novel favorit kamu. Jadi, gak mungkin aku buang." Mendengar jawaban Shaka, Nisa menarik kedua sudut bibirnya simetris.

Hubungan mereka yang pernah sangat dekat di masa lalu, membuat Shaka paham betapa Nisa sangat menyukai novel karya penulis itu. Penulis yang juga berprofesi sebagai seorang dokter. Bukan novel biasa, karena beberapa kisahnya bahkan sudah pernah diangkat ke layar lebar. Jika sekarang Nisa berprofesi sebagai dokter, itu pun cita-citanya terinspirasi dari sang penulis favoritnya itu.

"Aku lupa, kalo pernah nitip novel ini di tas kamu. Pernah juga pas main ke rumah, novel lainnya malah ketinggalan."

"Aku dan Syilla pernah ikut baca novelnya. Bagus. Pantes aja kamu ngefans banget sama penulisnya."

Nisa tersenyum, sejak dulu Shaka selalu mengerti tentang dirinya tanpa perlu dia menceritakan. Shaka mendukungnya saat Nisa mengatakan ingin menjadi dokter dan di sela-sela waktunya, dia juga ingin menulis.

"Apa sekarang kamu masih suka menulis juga?" tanya Shaka penasaran.

"Masih. Tapi hanya sekadar nulis di blog atau platform kepenulisan. Belum pernah sampe terbit buku."

"Kenapa gak diterbitin?"

"Aku gak pe-de sama tulisanku, Ka."

"Boleh aku baca? Nanti aku kasih komentar untuk tulisan kamu?"

"Beneran kamu mau baca? Aku hanya sekadar nulis, belum benar-benar menguasai ilmu kepenulisan itu kaya gimana." Walau ragu, ada di sudut hatinya berharap Shaka akan memaksa untuk membacanya.

"Iya. Share link tulisan kamu. Aku pasti baca."

"Ok, nanti aku share link tulisanku ke kamu."

Shaka menyesap kopi hitam miliknya yang tinggal separuh. Nisa dengan seksama memperhatikan wajah dan ekspresi lelaki teman masa SMA-nya dalam diam. Tak banyak yang berubah dari Shaka, selain garis-garis wajahnya yang tegas dan terlihat lebih maskulin. Selain itu, sikap Shaka yang lebih pendiam tapi masih tetap hangat kepadanya.

"Sejak kapan suami kamu meninggal, Nis?"

"Dari mana kamu tahu?" tanya Nisa penasaran

Nisa kira Shaka tak pernah tahu tentang dirinya kini. Tentang statusnya yang kadang menjadi gunjingan di masyarakat. Namun, dia Salah. Rupanya Shaka tahu lebih dari yang dia kira.

"Suamiku meninggal sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu aku sedang mengandung putri pertama kami."

"Siapa namanya?"

"Namanya Zi, Ziyadah Afra."

"Selama kau bekerja, Zi bersama siapa?"

"Dia aku titipkan di Day Care dekat sini. Jadi, aku akan sekalian menjemputnya saat pulang ke rumah."

Shaka melihat wajah Nisa yang tampak sendu saat menceritakan putri semata wayangnya. "Lain kali aku boleh mengajak Zi bermain?"

Dengan cepat Nisa menoleh, "Tentu. Kau boleh mengajaknya main kapanpun. Dia pasti senang jika ada yang mengajaknya bermain."

(Bukan) Pernikahan ImpianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang