"Ra, ini cabe, bawang putih, kemiri, terasi, garam dan gula udah aku ulek halus. Terus habis ini apa lagi?"
Dua bulan setelah rujuk, Rara dinyatakan hamil lima minggu. Kabar itu disambut dengan antusias oleh keluarga, apalagi Shaka. Saat di kantor, hampir setiap satu jam dia menelepon Rara untuk memastikan kondisi sang istri dan calon anak mereka. Mungkin terkesan lebay, tapi Shaka tak peduli. Rasa kehilangan membuatnya tak ingin melakukan kesalahan yang sama seperti dulu. Ia tak akan lagi abai dengan kondisi orang-orang yang disayanginya.
Sepulang periksa kandungan di minggu ke dua puluh, pagi tadi, Rara tiba-tiba ingin memakan masakan buatan suaminya, maka walaupun tak pernah menyentuh alat masak kecuali untuk membuat mie instan, Shaka tetap berusaha menyanggupi. Dari posisi duduknya di stool bar, Rara memberikan arahan tentang cara memasak makanan yang diinginkannya, yakni pepes udang sambal mangga.
"Habis ini lumuri udangnya pake bumbu halus. Terus tambahin kemangi, mangga yang tadi dipotong kecil-kecil panjang, cabe, sama daun jeruk. Aduk sampe rata ya, Mas. Oh iya, sambil kamu siapin alat kukusannya."
Shaka perlahan-lahan melakukan semua yang Rara ucapkan. Walau tampak kaku, tapi Rara yakin hasilnya nanti pasti dapat memanjakan lidahnya. Apalagi saat melihat mangga yang masih setengah matang itu, air liurnya seakan ingin menetes.
Shaka lalu membungkus adonan menggunakan daun pisang, lalu menaruhnya ke dalam alat kukus.
"Selesai." Shaka tersenyum sambil menutup panci kukusnya. "Terus berapa menit nih, kita harus nunggu mateng?"
"Tiga puluh menit, Mas. Sambil nunggu mateng, aku mau buat jus dulu. Kamu mau jus apa, Mas?" Rara beranjak dari stool bar dan membuka lemari pendingin.
"Kamu mau jus apa?" Bukannya menjawab Shaka justru balik bertanya sambil memeluk tubuh Rara daru belakang. "Kamu pengin jus apa? Biar aku yang buatin. Kamu duduk aja, deh. Tungguin jus dan makanannya mateng."
"Aku pengin ... jus mangga." Rara meringis.
"No! Itu pepesnya dah pake mangga, Ra. Masa jusnya mangga juga, sih?"
Rara memutar tubuh sambil memasang wajah memelas. "Tapi ini baby yang pengin, Mas. Boleh ya, Mas?"
"Gimana kalo buat jus mangganya ntar sore aja. Sekarang kita buat jus alpukat dulu. Alpukat itu memiliki banyak kandungan asam folat yang baik buat ibu hamil. Kaya serat, protein, vitamin A, vitamin K, vitamin C, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3, vitamin B5, vitamin B6, dan vitamin E."
"Kok kamu hafal kandungannya sih, Mas?"
"Sejak tahu kamu hamil, aku sering buka jurnal kesehatan tentang makanan, aktivitas yang baik dan harus dihindari selama kehamilan. Aku ingin kamu dan bayi kita sehat dan selamat lahir ke dunia. Oh iya, aku juga baca-baca tentang perkembangan janin setiap minggunya. Kaya sekarang nih, di minggu ke dua puluh, Obgyn bilang berat bayi kita 275 gram. Kalo dari yang aku baca bayi kita udah sebesar buah pisang berukuran besar, udah ada rambut-rambut halus di kepalanya dan otaknya sedang berkembang pesat."
Mendengar penjelasan panjang Shaka, membuat Rara terharu. Keputusannya untuk melabuhkan hati kepada lelaki di hadapannya sekarang merupakan keputusan yang tepat dan tak akan disesalinya.
"Iya, deh. Aku nurut apa kata kamu. Sekarang buat jus alpukat, terus sore nanti buat jus mangga ya?"
"Siap laksanakan, Nyonya Arshaka." Shaka memasang tubuh tegap layaknya tentara. Ia lalu membopong Rara ala bridal style, keluar dari dapur dan mendudukannya di sofa depan televisi. "Kamu tunggu di sini aja. Aku gak perlu arahan apa pun untuk sekadar buat jus. Aku bisa, Ra."
Rara mengangguk sebagai jawaban dan Shaka kembali menuju dapur. Membuat jus untuk mereka berdua dan membawa bungkus keripik pisang dan ketela ungu untuk camilan, sambil menunggu pepes yang Rara inginkan matang sempurna.
* * *
"Kalo udah masuk trimester terakhir kalian tinggal aja di rumah Mama," ajak Zaza saat berkunjung ke rumah anak menantunya. "Jadi, kalau ada sesuatu bisa langsung ditanganin sama Papa. Gimana kalian mau, 'kan?"
"Gimana, Ra? Kamu mau gak? Aku ngikut kamu aja. Senyamannya kamu aja." Shaka mengamati ekspresi istrinya. Ia tak ingin Rara menyetujui keinginan sang mama hanya karena terpaksa. Mungkin saja Rara justru lebih ingin tinggal bersama Bunda Milea. Mungkin saja, 'kan? Shaka hanya menebak-nebak.
"Iya, Mas. Aku mau. Menjelang lahiran kita tinggal sama mama dan papa."
Shaka tersenyum. Wajah Rara tak menunjukkan rasa keberatan sedikitpun. Mungkin keberadaan Papa Atha yang seorang dokter obgyn menjadi alasan kuat untuk istrinya mengambil pilihan itu. Mereka sama-sama ingin yang terbaik bagi sang buah hati yang tak lama lagi akan lahir ke dunia.
"Alhamdulillah, makasih, Sayang. Nanti mama siapkan kamar di bawah biar kamu gak perlu capek naik turun tangga."
"Iya, Mah. Makasih. Tapi ... setelah melahirkan, aku boleh langsung balik ke rumah ini gak, Mah?"
"Kenapa? Kalo di rumah mama 'kan, mama bisa bantuin kamu ngerawat bayi kalian."
"Aku pengin belajar mandiri. Toh, ada bibik juga yang bisa bantu Rara di rumah. Mama dan Bunda kalo pengin ikut ngerawat bayi kami, boleh, kok. Boleh nginep di sini."
Walau terlihat sedikit kecewa, Zaza tak membantah keinginan sang menantu. Dulu saat ia melahirkan Arsyilla juga langsung pulang ke rumah mereka sendiri. Ibunya hanya sesekali datang untuk membantu merawat sang cucu. Dan hal itu membentuknya menjadi seorang ibu yang tangguh. Melihat kesigapan Atha saat membantu merawat putri mereka dulu, justru menumbuhkan rasa cinta yang semakin besar di hatinya. Dan saat susah senang itu, menjadi kenangan yang tak pernah terlupakan.
"Oke, Mama paham." Zaza mengelus perut Rara yang sudah terlihat membuncit. "Tapi, kamu gak boleh larang Mama lho, kalo mama mau nginep di sini."
"Pasti, Mah. Kita malah seneng banget kalo Mama mau nginep bareng kita." Kali ini Shaka yang menjawab dan Rara hanya mengangguk pasti.
Senyum di wajah Zaza pun semakin melebar. Ia tak sabar ingin segera melihat cucunya lahir ke dunia.
Begitu Zaza pulang, Shaka dan Rara lanjut ngobrol di dalam kamar. Mereka berbaring sambil saling berhadapan. Tangan Shaka sejak tadi tak lelah mengelus perut Rara dengan lembut. Sementara, tangan Rara mengelus-elus kening dan rambut Shaka, menyalurkan kenyamanan.
"Kalo sebelum kita menginap di rumah Mama, boleh gak kalo kita nginap dulu di rumah bunda?"
"Boleh. Asal kamu nyaman, aku ngikut kemanapun kamu ingin tinggal."
"Kamu gak marah, Mas?"
"Kenapa harus marah?" Shaka mengernyit, tak memahami maksud pertanyaan Rara yang seakan random. "Definisi rumah bagiku adalah tempat di mana kamu berada. Jadi, aku akan selalu pulang ke tempat di mana kamu memilih tinggal."
"Makasih, Mas. Aku bahagia. Aku gak sabar menunggu anak kita segera lahir."
Shaka mengecup kening Rara lebut. "Udah malam, tidur yuk! Nanti pas salat tahajud aku bangunin kamu. Kita salat berjamaah."
Dalam pelukan Shaka, Rara mengangguk. Ia lalu berdoa dan memejamkan mata, membiarkan tubuh Shaka merengkuhnya dalam kehangatan.
.
.Alhamdulillah, update lagi 🤭
Gimana, kalian seneng kan bacanya? Pasti sambil senyum-senyum sendiri.Mau ada extrapart kedua?
Atau
Cukup sampe di sini aja?Jangan lupa tinggalkan jejak kehadiran dengan vote & komentar.
Terima kasih
Jazakumullah khairan katsir
💞 💖 💞Tegal, 030322
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Impian
Romance"Menikahimu adalah mimpiku sejak dulu. Saat mimpi menjelma nyata, ternyata bukan surga yang kupijak, tetapi laksana neraka yang aku masuki." (Azzahra Putri Adhiatama) "Terkadang kita salah menerjemahkan sebuah rasa, karena begitu tipis batas antara...